PEMBUKA KEBURUKAN LAIN

Kiki Musthafa

MEMUNGKASI apa yang tersampaikan di minggu sebelumnya. Seorang ulama saleh al-Faqih Abu al-Laits mengatakan bahwa meminum khamr—minuman yang memabukkan—dapat membuka keburukan lainnya. Ia berkata, “Miftahu kulli syarrin—(meminum minuman keras) pembuka keburukan lainnya.” Alasannya teramat sederhana, “Liannahu idza syariba al-khamra sahla ‘alaihi jami’ul ma’ashi—karenanya ketika meminum khamr semua kemaksiatan akan mudah dilakukan.”
Faktanya, banyak tindak kriminal yang kita dapati dan bermula dari keadaan mabuk. Seorang suami menganiaya istrinya dalam keadaan mabuk. Seseorang membunuh kawannya karena mabuk pula. Pun banyak kasus pemerkosaan yang juga diawali dengan mabuk. Semua bermula ketika akal sehatnya hilang sehingga nafsu terbusuklah yang kemudian mengontrol dirinya. Lalu, terbukalah keburukan lain yang sejatinya dapat dihindari, tetapi menjadi sedemikian mudah dilakukan karena lepas kendali.
Dalam sebuah hadis dari ‘Ustman bin ‘Affan radliallahu ‘anhu, Nabi ‘alaihis shalatu wassalamu berkata, “Jauhilah khamr karena sesungguhnya ia adalah biang keburukan.” Dalam hadis itu kemudian diceritakan kejadian yang menimpa seseorang di masa sebelumnya. Ia beribadah dan ber-’uzlah—menghindarkan diri dari keramaian untuk fokus beribadah. Namun, sampai pada seorang perempuan buruk perangai menyukainya dan mengutus seorang utusan untuk menemuinya.
Si utusan tersebut berkata, “Sesungguhnya seseorang mengundangmu untuk menjadi saksi.” Ketika si lelaki saleh itu memasuki rumah untuk memenuhi undangannya, tetiba si perempuan buruk perangai menutup pintu dengan seketika. Terkuncilah mereka berdua di dalam sana. Ketika duduk berdekatan, tampaklah pula seorang anak kecil dan segelas minuman keras. “Sebenarnya aku mengundangmu bukan untuk menjadikanmu saksi, tetapi agar kau membunuh anak kecil ini. Apabila tidak, pilihanmu selanjutnya adalah menzinahiku atau meminum khamr,” kata si perempuan buruk perangai.
Jelas itu berat buat si lelaki saleh. Ketiganya bukanlah sebuah pilihan. Akan tetapi, si perempuan buruk perangai lanjut mengancam, “Jika kau tak memilih salah satunya, aku akan berteriak dan mengatakan kepada banyak orang bahwa kau akan memperkosaku.” Ancaman itu jelas membuat si lelaki saleh berpikir panjang. Mau tidak mau, ia harus memilih, “Tuangkan bagiku segelas khamr.” Dengan berat, si lelaki saleh mengambil keputusan yang awalnya ia anggap taklah berisiko besar dibanding berzina dan membunuh.
Setelah meminum khamr, hilanglah akan sehatnya. Lalu, dalam keadaan mabuk, ia menzinahi si perempuan buruk perangai. Akhirnya, ia pun membunuh anak kecil yang masih berada bersama mereka. Apa mau dikata, maksud hati ingin mengambil risiko paling ringan, justru semua pilihan yang diajukan, ia eksekusi di saat yang bersamaan. Ia lalai, meminum khamr dapat membuatnya mabuk dan menghilangkan akal sehatnya. Lalu, menjadi pintu masuk bagi munculnya keburukan lain yang tak pernah terbayangkan olehnya.
Merujuk pada apa yang disampaikan Nabi ‘alaihis shalatu wassalamu bahwa meminum khamr adalah ummul khabaits (biang keburukan), seorang ulama saleh al-Faqih Abu al-Laits mengatakan bahwa meminum khamr itu miftahu kulli syarrin—pembuka keburukan lain. Jika Nabi ‘alaihis shalatu wassalamu memberikan alasan kuat dengan menceritakan seorang saleh yang kemudian berzina dan membunuh, al-Faqih Abu al-Laits menguraikannya dengan, “Liannahu idza syariba al-khamra sahla ‘alaihi jami’ul ma’ashi—karenanya ketika meminum khamr semua kemaksiatan akan mudah dilakukan.
Lalu, apakah mereka yang tahun ini akan dimabuk Pilkada saat meminum berahi kekuasaan, akan terjerembap pada keburukan lainnya? Semoga saja tidak. Namun, fakta berbicara dengan sangat jernih. Saat seseorang dimabuk jabatan yang hanya untuk jabatan, uang dan popularitas—bukan untuk benar-benar menyelamatkan umat, bukan lillah dan fillah—masalah pelik akan menghampirinya saat menjabat. Jabatan yang memabukkannya akan menjadi pembuka bagi keburukan lain yang menguntitnya sejak awal: terjerat kasus korupsi lalu masuk bui. Sekali lagi semoga itu bukan kita. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment