LIHAT AKU

Kiki Musthafa

AMBISI selalu ingin dilihat orang lain bukanlah sesuatu hal yang baik. Keinginan demikian riskan menjatuhkan diri sendiri saat apa yang dikehendaki tak sampai pada apa yang diharapkan. Terlebih dengan adanya media sosial. Mudah sekali melihat kecenderungan narsistik—meskipun bisa saja masih dalam tahap yang wajar. Akan tetapi, gangguan keperibadian itu akan terlihat bernas saat aktivitas narsistik di media sosial tersebut, menguat pada sikap yang lebih ekstem di dunia nyata. Di sinilah tolak ukur narsistik yang wajar dan yang terkategorikan gangguan jiwa yang akut.

Tentu, tulisan ini berangkat dari perspektif pembaca umum, bukan seorang pakar—dalam hal ini psikologi. Oleh karenanya, fakta yang akan dimunculkan pun lebih ke fenomena keseharian yang bisa dijemput kapan saja, media sosial salah satunya. Gangguan kejiwaan ini, jika diamati secara berkala, bermula dari aktivitas di media sosial, berlanjut ke aktivitas di ruang kerja dan ruang publik, akan mudah terdeteksi. Semua berangkat dari keinginan lihat aku. Perlu dicatat, ada yang wajar dan ada pula yang tidak wajar. Mari kita uraikan.

Keinginan lihat aku yang wajar dapat dilihat dari sebatas mengekspresikan apa yang sedang dijalani, dinikmati dan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Menulis, berfoto atau merekam video lalu di-share di akun media sosial. Berbagi gagasan, kebahagiaan atau mungkin kesedihan sekalipun, sembari menginspirasi orang lain untuk menjadi lebih baik lagi. Biasa saja. Tidak ada rekayasa apa pun dan ketika kembali ke dunia nyatanya semua tidak mengubah kepribadian dan sikapnya kepada orang lain. Semua baik-baik saja dan berjalan sesuai nilai, norma dan aturan yang ada.

Lalu, selanjutnya keinginan lihat aku yang tidak wajar. Dalam hal ini, ketakwajaran yang muncul dapat ditelisik dari caranya beraktivitas di media sosial yang tampaknya wajar-wajar saja; menulis banyak hal baik yang bisa menginspirasi pembacanya, berfoto dan mem-video lalu di-share seperti yang biasanya, tidak ada indikasi apa pun—pada awalnya. Hanya saja, saat ia kembali ke dunia nyata, aktivitas yang didengungkannya di media sosial menjadi sedemikan kuat memengaruhi sikapnya kepada pihak lain. Dimulai dengan menganggap dirinya berbeda dari orang lain sehingga menuntut perlakuan khusus. Ini gejala gangguan kepribadian narsistik—dalam istilah Sunda lebih dekat dengan istilah asa kaalem.

Dalam kajian psikologi abnormal, gangguan kepribadian narsistik bermula dari keinginan dilihat yang berlebihan. Keinginan lihat aku-nya bahkan mampu mendobrak akal sehat. Pada awalnya—seperti ditutur sebelumnya—memang biasa saja. Namun, saat apa yang diperoleh dan dicapainya mampu ditandingi apa lagi dilangkahi pihak lain, serta merta ia berontak. Ia akan melawan dan berusaha menjatuhkan pihak lain agar perlakuan khusus—biasanya sanjungan, tepuk tangan, kewibawaan, pelayanan, dst.—hanya berlaku untuk dirinya saja. Dalam kehidupan sosial yang kompleks, gangguan kejiwaan semacam ini terbilang cukup ekstrem.

Banyak sebab yang melatarbelakangi gangguan kepribadian narsistik ini dan lebih baik tersampaikan di lembar lain yang lebih relevan. Hanya saja, salah satunya adalah faktor masa kecil yang gagal meniru empati dari orang tua pada masa perkembangan awal. Ketika dewasa ia pun gagal memenuhi ekspektasi yang diharapkan dan didengungkan sejak kecil. Karenanya, beberapa gejalanya merujuk pada; terobsesi pada ketenaran, berbohong pada diri sendiri dan orang lain, merasa diri paling penting, sulit menerima sudut pandang orang lain, dan membutuhkan pepujian dan kekaguman berlebih. Semuanya, dilatarbelakangi untuk menutup kekecewaan yang didapatinya sejak kecil.

Terlepas dari teori psikologi abnormal di atas, dalam Islam keinginan lihat aku dan narsistik yang tidak wajar bukanlah sesuatu hal yang baik. Gangguan kepribadian narsistik ini tentu merujuk pada perpaduan ekstrem dari beberapa penyakit hati; riya (beribadah, berbuat baik yang hanya karena ingin dilihat orang lain dengan maksud haus sanjungan), hasud (tidak senang dengan nikmat yang didapatkan orang lain dan cenderung ada upaya ingin merusak), takabur (sombong dengan menganggap orang lain rendah), dan berbohong. Sayangnya, bisa jadi pengidap gangguan kepribadian narsistik itu adalah kita. Semoga saja tidak. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment