BERBUAT BAIK BERCARA BAIK

Kiki Musthafa

KONON kebaikan apa pun yang kita lakukan akan kembali dengan sendirinya. Mari kita ingat dua kata terakhir: Dengan sendirinya. Dengan kata lain, tidak dijemput paksa atau dikejar-kejar agar kembali. Ia akan kembali tanpa perlu ditunggu, tanpa perlu dinanti-nanti. Biarkan menjadi celengan yang kelak akan pecah saat dibutuhkan. Lalu kembali dengan beragam cara yang tidak pernah terbayangkan. Formulasinya, kebaikan akan melahirkan hal baik, selagi dilakukan dengan cara yang baik.

Persoalan klasik yang sering hinggap pada lelaku kita adalah menjemput paksa kebaikan yang sudah kita lakukan. Di kepala kita kadung terekam bahwa apabila kita berbuat baik maka kita harus dapat aplaus dan respon baik lainnya. Imbasnya, kebaikan yang kita lakukan hanya terbatas pada sejauh mana perkiraan aplaus yang akan kita dapatkan. Padahal, kebaikan tidak memiliki batas dan sekat. Ia melampaui segalanya—selagi, sekali lagi, dilakukan dengan cara yang baik.

Menjemput respon balik dari kebaikan yang kita lakukan, secara langsung menyatakan bahwa kita tidak benar-benar baik dan sedang berbohong atas nama kebaikan. Sederhananya, hal baik apa pun tidak elok disandarkan pada maksud-maksud sederhana yang mudah hilang dan lenyap. Semisal, keinginan tepuk tangan, haus sanjungan, butuh perhatian, memerlukan perlakuan istimewa dan lain hal. Jika itu yang terjadi, kebaikan akan terbatas pada tujuan terdangkal yang telah tersebutkan.

Imbasnya, saat maksud dangkal itu teramputasi dengan sendiririnya, maka sakitlah kita harus terundung rasa kecewa. Masih mendingan jika itu kemudian menjadi bahan evalusi agar lebih baik lagi untuk meraih aplaus di kemudian hari—meskipun ini cara yang buruk—daripada sibuk mencari kambing budek; orang lain dipersalahkan atau justru dihakimi sebagai biang keladi yang menyebabkan ia gagal meraih simpati. Biasanya, merasa kebaikannya tersaingi.

Di sisi lain, menjemput respon balik pun adalah bentuk pengakuan untuk rendahnya kualitas kebaikan yang kita lakukan. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa hal baik—yang benar-benar baik—selalu dilupakan oleh yang melakukannya karena ia sibuk berganti dengan melakukan kebaikan berikutnya. Lain hal dengan yang tidak benar-benar baik, ia akan terus mengingat-ingat kebaikan itu dan menunggu respon balik dari orang lain. Waktunya habis untuk menghitung yang sejatinya bisa digunakan untuk melakukan kebaikan lainnya. Terlihatlah dengan jelas, kebaikan yang terus diingat-ingat oleh yang melakukannya, kualitasnya teramat rendah.

Fakta di atas akan berlawanan dengan kebaikan yang tulus. Pelakunya akan lupa karena baginya kebaikan bukan hitungan matematika. Namun, di saat yang sama justru orang lainlah yang akan terus mengingat tanpa henti dan diceritakan ulang hingga semua merasakan berkah baiknya. Dalam keadaan demikian, ketika manfaat kebaikan itu dirasakan dan diakui banyak orang, taklah perlu mengaku-ngaku atau menjemput paksa untuk kembali. Kebaikan yang tulus akan kembali dengan sendirinya, tanpa ditunggu, tanpa dinanti. Tanpa perlu, apalagi, sibuk mengklaim kebaikan orang lain karena takut terlampaui.

Ya, konon kebaikan apa pun yang kita lakukan akan kembali dengan sendirinya. Mari kita ingat dua kata terakhir: Dengan sendirinya. Dengan kata lain, tidak dijemput paksa atau dikejar-kejar agar kembali. Biarkan menjadi celengan yang kelak akan pecah saat dibutuhkan. Lalu kembali dengan beragam cara yang tidak pernah terbayangkan. Formulasinya, kebaikan akan melahirkan hal baik, selagi dilakukan dengan cara yang baik. Semoga kita dianugerahi hati yang tulus untuk berbuat baik dengan bercara baik, berhati tulus dengan bersikap halus. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

 

 

 

Leave a comment