Celaka

KONON manusia celaka, banyaknya, karena tersebab ulahnya sendiri. Namun, setelahnya ia selalu sibuk menunjuk pihak lain, sebagai penyebab yang layak disalahkan—untuk celaka yang menghampirinya. Ia lupa, atau bahkan sengaja melupakan, bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensinya masing-masing. Baik akan melahirkan kebaikan. Buruk akan berimbas keburukan. Sekali lagi, banyaknya, hal itu muncul dari ulah sendiri.

Masalahnya, ia enggan mengakuinya, kecuali jika berhasil. Ya, betapa tampak gagah saat berhasil, ia lantangkan di hadapan banyak orang, bahwa keberhasilan itu adalah buah dari kerja kerasnya. Konsekuensi terpasti dari kehebatan yang dimilikinya. Namun, amat geli rasanya, saat celaka—gagal, tak sesuai ekspektasi, jatuh—justru sibuk berkoar-koar meludahkan sumpah serapah untuk menghakimi pihak lain sebagai biang kerok “kecelakaan” tersebut. Ia hanya siap menghadapi konsekuensi baiknya saja. Buruknya? Harus menjadi milki orang lain. Lalu lahirlah ucap dan sikap yang tidak pantas.

Ini celaka. Saat seseorang tergelincir karena lidahnya. Terpeleset karena sikapnya. Tersungkur karena keliru dan menukar hal baik dengan keburukan, membungkus hal buruk dengan kebaikan—disebabkan tak terima dengan celaka yang dialaminya, terlebih dilanjut dengan menunjuk hidung orang lain sebagai pesakitan. Ia enggan mengakui, bahwa celaka yang muncul adalah ulahnya sendiri—yang ternyata, menurut Rasulullah Saw dikarenakan empat hal yang bersemayam kuat dalam dirinya. Dan itu tak disadarinya.

Pertama, jumuudul ‘aini—mata yang buta. Ini kecelakaan pertama. Mata yang enggan melihat baik-buruk sebagai pertimbangan ucap dan sikap. Tebas saja. Labrak semaunya. Tak peduli dengan konsekuensi tersial sekalipun, baik bagi dirinya, terlebih bagi orang lain. Baginya, semua tak perlu “dilihat” asalkan tujuannya tercapai. Keinginannya teraih. Ambisinya tergenggam. Ia membutakan mata untuk menghamba pada semua hal yang teramat sementara: hawa nafsunya. Ini yang kelak membatukan hatinya.

Kedua, quswatul qalbi—hati yang keras. Lebih batu dari bebatuan. Lebih besi dari benda apa pun. Angkuh dari nasihat apa pun. Bebal terhadap kritik apa pun. Di hatinya, apa pun itu, tak layak bertempat jika tak sefaham. Ini penyebab lain dari tetumbuh kesombongan, yang membuatnya enggan untuk terus belajar. Baginya, orang lain bodoh, lemah dan tanpa daya. Sedangkan dirinya, pintar lagi memaharaja. Dari keadaan inilah, hidupnya kerap hanyut dalam angan-angan panjang saja.

Ketiga, thuulul amali—panjangnya angan-angan. Tujuannya melaju pada jalan yang entah. Keinginannya mengular sejauh mata memandang. Ambisinya tak terhitung oleh jarak. Sementara ia tidak “berbuat” apa pun yang membuatnya layak mendapatkan semua yang diharapkannya. Sekalipun “berbuat” sesuatu, kakinya menendang apa saja yang menghalangi. Tangannya menyikut siapa saja yang merintangi. Tatapannya mengancam apa pun yang dianggap mengganggu. Semau udel karena matanya terlanjur buta, hatinya selayak batu, alergi pada nasihat, anti terhadap kritik, juga enggan belajar. Saat angan-angannya memanjang sedemikian itu, ia telah berhenti menjadi manusia. Allah dan Rasul-Nya dilupakan, tersihir oleh gemerlapnya dunia yang melenakan.

Keempat, hubbud-dunya—kecintaan terhadap dunia. Ini pangkal dari segala celaka. Rasulullah Saw bersabda di hadis lainnya, “Hubbud-dunya ra`su kulli khathii`atin, fa’alaika bil-i’raadli ‘anhaa—kecintaan terhadap dunia adalah biang dari segala kesalahan, maka berpalinglah darinya.” Sulit untuk disangkal, gila pada kehidupan duniawilah yang kerap membutakan mata, mengeraskan hati, juga memanjangkan angan-angan yang tak pernah dieksekusi dengan baik. Rahim bagi semesta kesalahan, memuara pada celaka yang tak terhentikan—as-syaqaawah ad-daaimah.

Ya, konon celakanya manusia tersebab ulahnya sendiri. Namun, setelahnya ia selalu sibuk menunjuk pihak lain, sebagai penyebab yang layak disalahkan—untuk celaka yang menghampirinya. Ia tak pernah siap dengan konsekuensi apa pun, kecuali hal baiknya saja. Buruknya? Harus menjadi milik orang lain. Ini tanpa disadari yang kelak menggelincirkan lidah, memelesetkan sikap, menyungkurkannya pada pilihan buruk. Biangnya, mereka terlalu gila pada urusan duniawi, dan lupa bahwa akhiratlah yang senyatanya abadi. Lalu, di sepanjang 2016 ini, bukankah “mereka” itu adalah kita? Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

Kiki Musthafa

Leave a comment