SEBUAH POHON

Kiki Musthafa

SESIAPA yang bertahan dalam berkebaikan, ia menyimpan iman yang kuat dalam hatinya. Tidak tergoyahkan oleh bujuk rayu keburukan. Tidak pula terbuai oleh sesuatu hal yang membuatnya lalai—dan kemudian berpaling dari apa yang ditetapkan Allah SWT. Namun, beristiqamah dalam kebaikan tidak semudah membalik telapak tangan. Terlebih, saat ini, banyak hal baik yang didapat dengan cara yang buruk. Juga hal buruk yang rapi dikemas dengan cara yang baik. Kita kerap terkecoh. Akan tetapi, iman akan menjadi pembedanya.

Abu Bakr ar-Raazi, membuat perumpamaan sederhana tentang iman yang berangkat dari upaya mempertahankan kebaikan. Ia menganalogikan, iman di hati orang-orang mukmin, layaknya sebuah pohon yang memiliki tujuh dahan. Ke-tujuh dahan itulah, menurutnya, menjadi kunci tetapnya iman di hati seorang mukmin.

Pertama, menahan hati dari hal-hal yang buruk. Dari beragam penyakit hati yang memuramkan. Dahan ini, akan berbuah “shihhatul iraadah—baiknya sikap dan perilaku.” Dalam ungkapan lain, kerap terdengar, “Sikap yang baik lahir dari hati yang baik.”

Kedua, menahan lisan dari berucap hal buruk yang menyakitkan, kotor dan menjijikan. Dahan ini, akan berbuah “shidqul maqaalah—benar dan jujurnya perkataan.” Lisan yang baik, akan menjadi perantara terucapnya perkataan baik, tanpa dusta, lembut, dan menyenangkan sesama.

Ketiga, menahan kedua kaki dari menyentuh tempat maksiat. Dahan ini, akan membuat tergeraknya kaki kita pada “al-masyiu ilal jamaa’ah—melangkah ke tempat shalat berjamaah.” Tentu, merujuk pula pada berjalannya langkah menuju majlis ilmu, pengajian dst. Juga tempat lainnya, yang menjadikannya semakin dengan Allah SWT, karena bertahan melakukan hal baik sebenar-adanya.

Keempat, menahan kedua tangan dari melakukan hal tak terpuji. Menyakiti orang lain. Menunjuk-nujukkan fitnah. Menghasutkan keburukan. Menebarkan dendam dan kebencian. Dahan ini, akan menuntun tangan kita pada “i’thaaus shadaqah—memberikan sedekah.” Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan. Membantu yang memerlukan bantuan. Memberikan kebermanfaatan bagi pihak lain.

Kelima, menahan kedua mata dari melihat sesuatu hal yang tak layak dilihat. Melihat sesuatu yang dengannya buruk sangka bermula. Melihat sesuatu yang dengannya fitnah, hasut, dendam, dan kebencian bermula. Dahan ini, akan mengantarkan kita pada “nadhrul ‘ibraah—melihat sebuah pembelajaran. Mata menjadi perantara didapatinya hal-hal baru yang bermanfaat bagi dirinya juga orang lain. Mata menjadi media untuk belajar dari hal-hal yang terlihat, sebagai sesuatu yang baik, yang membuatnya terus belajar tentang hidup.

Keenam, menahan lambung dari disentuh barang haram. Dahan ini, akan berbuah “aklul halaal wa tarkus-syubhaat—memakan makanan halal dan meninggalkan makanan syubhat, yang belum tentu kejelasan halal-haramnya. Jika seseorang tampak rakus pada barang syubhat apalagi kemaruk pada sesuatu yang haram, hilang sudah iman dalam hatinya. Jika pun tampak, itu hanya kebohongan semata.

Ketujuh, menahan diri dari diperbudak hawa nafsu. Ia tidak rela dirinya jatuh pada ambisi-ambisi busuk. Larut pada kesalahan-kesalahan yang tidak ditaubati. Terkurung pada keinginan-keinginan yang berlawanan dengan aturan Syara’. Juga hal lain yang menjadikannya manusia pendosa. Dahan ini, akan membuatnya berteguh hati untuk “tarkus-syahawaat—meninggalkan syahwat.” Bukan hanya tentang syahwat biologis yang tidak halal. Namun pula, syahwat materialistik yang didapat dengan cara yang tidak benar. Juga syahwat lainnya, keinginan dan hasrat yang tidak benar dan cenderung mengkhianati apa yang digariskan Syara’, dalam Alquran juga dalam hadis Rasulullah SAW.

Demikianlah, tujuh analogi sederhana dari Abu Bakr ar-Raazi tentang iman yang layaknya sebuah pohon dengan dahan yang beragam. Dan ketujuh hal tersebut tidak mungkin didapat, tanpa keinginan yang kuat untuk bertahan dalam kebaikan, sebagai ikhtiar mulia untuk beristiqamah di jalan Allah SWT. Karena apa pun alasannya, sesiapa yang bertahan dalam berkebaikan, ia menyimpan iman yang kuat dalam hatinya. Terakhir, sebelum terlambat, mari kita tanam benihnya, dipupuk dengan sebaik-baiknya, dan biarkan pohon berdahankan kebaikan itu, tumbuh di hati kita selamanya. Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ali sayyidinaa Muhammad.[]

Leave a comment