MELEBUR KESALAHAN

MELEBUR KESALAHAN

Kiki Musthafa

 

BUKAN hanya terlahir untuk menjadi tempat segala salah, manusia pun dibekali penawarnya sekaligus. Seperti segala bentuk penyakit, tak semata hanya untuk memberikan rasa sakit, tetapi lahir disertai dengan penawarnya sekaligus. Ada obatnya, yang menjadi jalan untuk kembali sehat.

 

Demikian hal dengan kesalahan yang diperbuat. Dalam Islam, kesalahan identik dengan melakukan segala hal yang dilarang. Baik secara syar’i  ataupun secara sosial. Karena sejatinya, Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Yang menentramkan. Dan menjaga hak-hak manusia secara umum. Sehingga, setiap hal yang berhubungan dengan perilaku sosial—hubungan dengan sesama (hablum minannas), sudah tentu berkaitan erat dengan, dan memang bersumber, dari hubungan baiknya dengan Allah (hablum minallah).

 

Sederhananya, apabila hubungannya dengan Allah (melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya) terjaga dan terpelihara dengan baik, bisa dipastikan hubungannya dengan sesama manusia pun akan baik. Karena hubungan secara syar’i adalah akar dari segala hubungan secara manusiawi yang berfungsi sebagai dahan pohon dan daun yang hijau. Jika akarnya bagus, pohonnya kuat dan daunnya hijau melebat. Idealnya demikian. Dan kesalahan selalu terjadi jika muncul masalah pada akarnya.

 

Betul—bahkan sangat dimaklumi, jika kesalahan adalah bagian dari fitrah manusia, “Al-insan mahallul khatha’ wannisyan—manusia adalah tempatnya salah dan lupa.” Akan tetapi, Islam memiliki aturan untuk meminimalisir dan bahkan meleburkan kesalahan tersebut, seperti terhimpun dalam Al-Quran dan Hadits. Sehingga tak ada alasan untuk bersengaja melakukan kesalahan dan mengulanginya kembali. Berbuat dosa. Melanggengkan maksiat. Menyakiti pihak lain. Bersikap dholim. Dan segala sikap, ucap, yang dilarang dalam Islam.

 

Selalu ada penyelesaian, seperti halnya penyakit yang memilki obat sebagai penyembuh. Dalam Nasahaihul ‘Ibad, Syaikh Nawawi al-Bantani, menjelaskan dua langkah terbaik untuk melebur kesalahan.

 

Pertama, beristighfar. Meminta ampunan kepada Allah disertai penyesalan yang mendalam. Dengan sepenuhnya menyadari bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan (dosa). Istghfar tentu bukan sebatas berucap, “Astaghfirullahal adhim,” akan tetapi disertai dengan sikap yang selaras dengan permohonan ampun tersebut. Sehingga, kedua, bependirian kuat untuk tidak mengulanginya kembali. Dengan kata lain, setelah menyadari setiap kesalahan yang diperbuatnya. Maka, bersamaan dengan itu, segala yang bentuk aktivitasnya kembali pada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tidak terjurus pada kesalahan serupa. Ini yang dinamakan “Taubatan nasuha”—kembali seutuhnya pada nilai-nilai kebaikan, dengan seutuhnya meninggalkan kesalahan yang melahirkan madharat berkepanjangan.

 

Terkait dengan hal di atas, Rasulullah SAW., bersabda, “Kullu insani khaththaun, wa khairul khaththain attawwabun—setiap manusia adalah pembuat kesalahan, dan sebaik-baiknya pembuat kesalahan adalah yang orang-orang yang bertaubat.” Apa yang disampaikan Rasulullah SAW., menjadi petunjuk, bahwa banyak manusia-manusia shaleh yang menjadi “hebat” di hadapan Allah dan Rasul-Nya, juga di hadapan sesama manusia lainnya, adalah mereka yang tak pernah berhenti belajar dari kesalahan yang diperbuatnya. Disesali. Ditaubati. Dijadikan pembelajaran. Dan—tentu, tidak diulanginya kembali.

 

Demikianlah, bahwa setiap penghambat selalu disertai jalan keluarnya. Penyakit dengan obatnya. Dan kesalahan dengan peleburnya. Akhirnya, jika kita ingat, kapan terakhir kita berbuat salah dan saat ini masih terulangi, berarti kita bukan orang baik. Wallahu ‘alamu.[]

Leave a comment