MELAWAN MUSYRIK

MELAWAN MUSYRIK

Kiki Musthafa

 

MUSYRIK adalah menyekutukan Allah. Menganggap adanya Tuhan selain Allah. Bersandar pada kekuatan, penolong, pencipta, tempat bersimpuh, selain keesaan-kekuasaan dan qadla-qadar dari Allah. Jika dibenturkan dengan keadaan saat ini, maka definisi musyrik akan menemukan arti yang lebih beragam, dengan cara yang beragam pula.

 

Di pasar, di jalan raya, di rumah-rumah warga, juga di tempat-tempat lainnya, praktik musyrik disadari atau tidak sering kita dapati. Bahkan—bisa jadi kitalah yang melakukannya. Menyimpan keris kecil. Mewiridkan mesam-mesem jimat. Awur taneuh (untuk mempengaruhi dan mencelakai saingan dagang ataupun pekerjaan). Memakai sabuk yang berisi tuisan jimat. Memelihara jin. Kepah-kepoh seperti dukun—atau mengadu nasib ke dukun. Dsb.

 

Jika tujuannya adalah doa—meminta kepada Allah—maka tidakkah lebih elok jika meminta dengan berdoa, tahajud, shalat hajat, shalat dhuha, dsb.? Bukan lantas dengan melafalkan jampi-jampi, terlebih ayat al-Quran yang ditempel di sembarang tempat dengan tujuan sebagai pengundang keberuntungan? Bukankah ini penghinaan? Bukankah ayat-ayat al-Quran terlalu suci hanya untuk dijadikan “jimat” belaka? Sementara di sisi lain, amalan-amalan yang dianjurkan al-Quran justru kita tinggalkan?

 

Betul, tidak ada yang salah dengan ayat al-Quran yang dijadikan doa. Tapi cara dan tujuan kita yang kerap menggelincirkan kita pada kemusyrikan. Yang ujung-ujungnya, meminta bantuan kepada jin. Bersimpuh di depan dukun dst. Bukan kepada Allah. Sedangkan dalam salah satu keterangan dijelaskan, “Bahwa meminta bantuan kepada jin adalah syirik, kufur, dan dhalim.

 

Mirisnya, di antara orang-orang yang melakukan praktik musyrik, justru adalah mereka yang mengerti agama. Di Tasikmalaya—juga sangat memungkinkan di tempat lain—ritual awur taneuh (katanya, untuk mempermudah urusan yang berhubungan dengan tempat, mempelet jamaah pengajian, dsb.), kubur runtah (mengubur sampah di gerbang pesantren, agar banyak santri), kepah kepoh (mesam-mesem jampi-jampi), sering dilakukan oleh SEBAGIAN ajengan yang mengaku bertauhid tapi nyulahid (menyalahi aturan Syara’).

 

Demikianlah kenapa hidup selalu terasa sulit. Kenapa hasil kerja kita tidak pernah barokah (berlimpah tapi menyusahkan, banyak tapi menyengsarakan). Kenapa pula banyak ajengan yang saling sikut karena kepentingan. Sejenak mari bertanya, “Apakah selama ini kita sering melakukan praktik musyrik tersebut?” Jika jawabannya, “Ya.” Maka tinggalkan dengan segera meminta ampunan kepada Allah. Bisa jadi dosa besar tak termaafkan itulah yang menyengsarakan kita selama ini.

 

“Innallaha laa yaghfiru an-yusyraka bihii, wa yaghfiru maa duuna dzalika liman yasyaa—sesungguhnya Allah tidak akan pernah mengampuni dosa syirik (menyekutukan Allah, memelihara jimat, meminta pertolongan kepada jin, kepah-kepoh, awur taneuh, kubur runtah, pelet, pengasihan, isim dhomir, jimat kekebalan, dsb.), dan mengampuni dosa selain itu.” Shadaqallahu al-Adhim. []

 

 

 

Leave a comment