MENJADI BARU

Kiki Musthafa

SAMPAI hari ini tentu banyak hal baru yang kita temukan. Sejak lahir, melewati masa kecil, remaja, lalu menjadi dewasa dan menua, semua hal baru akan membersamai setiap waktu berganti. Sederhananya, selalu ada hal baru dalam diri kita juga dalam diri orang lain. Pun demikian hal dengan lingkungan tempat kita bertinteraksi dengan sesama juga dengan alam.

Menjadi baru berarti menjadi sesuatu yang berbeda setelah melewati perubahan tertentu. Tentu, yang diharapkan dalam tulisan ini adalah menjadi berbeda—berubah—dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik. Sayangnya, amalan ibadah kita sering kali berada pada keadaan terbalik: Dari tidak baik menjadi buruk dan lebih buruk lagi. Apa sebab yang melatarbelakangi hal demikian?

Dalam Islam, fluktuasi amalan ibadah kita tidak bisa dilepaskan dari berkurang dan bertambahnya iman dalam diri kita. Sementara berkurang dan bertambahnya iman, besar pula—diantaranya—ditentukan oleh keinginan kuat kita untuk melaksanakan semua perintah dan menghindarkan diri dari semua yang dilarangan-Nya. Dua hal itu bisa ditemukan apabila kita tidak berhenti menjadi pembelajar. Rajin ke majelis ilmu, dekat dan ta’dhim kepada ahli ilmu.

Nah, menjadi baru dalam konotasi negatif, besar kemungkinan karena kita enggan menjadi pembelajar dan jauh dari ahli ilmu—atau bahkan menjauhi ahli ilmu. Tidak pernah mendengarkan pengajaran yang diberikannya rutin di mejelis tertentu, tidak pula mengindahkan anjuran dan nasihatnya. Lebih parahnya lagi, alih-alih berupaya ta’dhim, justru malah menyakiti dan meninggalkannya.

Dalam salah satu hadis, Rasulullah Saw., menakutkan satu waktu terburuk yang akan dialami umat karena meninggalkan ulama (ahli ilmu). Menurut Rasulullah Saw., ada tiga hal mengerikan yang akan terjadi. Pertama, berkah dari kasab (usaha) kita akan dicabut. Kedua, diberikan pemimpin yang zalim. Ketiga, meninggal dalam keadaan suul khatimah. Tentu, tiga hal yang ditakutkan Rasulullah Saw., tersebut, di pemahaman terbaik, merujuk pula pada perintah untuk manut dan menghormati pada ulama (ahli ilmu).

Jika tidak? Semua upaya apa pun yang kita lakukan tidak akan pernah melahirkan kebaikan. Selalu hambar dan tidak berbekas sama sekali. Berkahnya dicabut sehingga tidak meninggalkan sedikit pun manfaat yang bisa diambil dan dinikmati. Selanjutnya, kita akan dihadiahi pemimpin yang tidak pernah mengerti dan justru menzalimi umat. Sampai pada akhirnya, Allah Swt., mengakhiri hidup kita dalam keadaan terburuk—na’udzubillah. Intinya, kita tidak mungkin bisa menjadi baru untuk lebih baik jika tidak ingin menjadi pembelajar dan ta’dhim kepada ahli ilmu.

Semoga tulisan sederhana ini menjadi pengingat bahwa untuk selalu menjadi baru dalam hal baik, salah satu cara yang bisa kita perbuat adalah dengan terus melihat, mendengar, menunduk dalam majelis-majelis ilmu. Harapannya, iman kita akan semakin teguh dan mengerti apa yang harus kita perbuat karena tahu ilmunya. Sangat normatif memang, namun demikianlah hal-hal sederhana yang sering kita lupakan dan justru istimewa untuk menghadirkan perubahan baik, lahir dari teori-teori normatif yang dijelaskan Alquran dan hadis Rasulullah Saw., lalu diamalkan.

Ya, sampai hari ini tentu banyak hal baru yang kita temukan. Sejak lahir, melewati masa kecil, remaja, lalu menjadi dewasa dan menua, semua hal baru akan membersamai setiap waktu berganti. Sederhananya, selalu ada hal baru dalam diri kita juga dalam diri orang lain. Baik-buruknya tergantung apa yang kita perbuat. Jika ingin menjadi baru dengan lebih baik, salah satunya ikuti pengajaran dan nasihat para ulama (ahli ilmu), tentu ulama yang baik. Lalu, perbarui sikap, ucap dan interaksi sosial kita dengan sesama juga dengan alam. Setiap hari, setiap waktu. Semua terbarukan dan bukan hanya karena tahun baru saja, kan? Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment