SENYUM

TERJELASKAN bahwa senyum adalah ibadah. Memberi wajah ceria. Mimik yang hangat lagi bersahabat. Lalu, disempurnakan dengan lengkungan manis di bibir, lalu diaktualisasikan dengan sikap dan ucap yang baik. Semua adalah bagian dari hal yang menyenangkan. Dan tentu, hal yang menyenangkan orang lain—dalam konotasi positif—adalah ibadah itu sendiri.

Sikap dan ucap yang menyenangkan biasanya lahir dari hati dan pikiran yang bersih. Tentu, yang dimaksud adalah yang “benar-benar” menyenangkan. Bukan sandiwara dan kepura-puraan. Sikap menyenangkan itu, bisa menyenangkan orang lain juga menyenangkan diri sendiri, jika dilakukan dengan setulus hati. Tetapi, jika karena terpaksa atau justru tanpa sebab sama sekali, maka hal semenyenangkan itu justru akan terasa menyakitkan. Baik bagi diri sendiri. Pun, pada akhirnya bagi orang lain, saat mereka tahu. Oleh karenanya, tersenyum yang membahagiakan harus beralaskan kebaikan, agar terasa menyenangkan.

Menyenangkan diri sendiri. Konon, tekanan psikis pada seseorang dapat dikurangi dengan tersenyum. Tentu senyum yang wajar dan logis, yang menandakan seseorang mampu melewati masalah yang sedang dihadapinya. Senyuman merupa deskripsi dari sebuah optimisme. Mereka yang tersenyum tulus, adalah mereka yang yakin bahwa semua akan berjalan baik-baik saja, sesulit dan seberat apa pun masalah yang dihadapinya. Baginya, senyum adalah pelipur bagi lara yang menghinggapinya. Senyum, menyenangkan dirinya juga orang lain.

Ya, senyum pada akhirnya akan menyenangkan penglihatnya. Saat seseorang menerima senyuman dari orang lainnya, senyatanya ia sedang menerima pesan optimisme yang dimiliki si pemberi senyum. Tak jarang, kan, kita merasa termotivasi dengan melihat senyum orang lain—padahal sedang dalam keadaan jatuh? Atau, sebuah isyarat. Benar pula, kan, kita kerap merasa diisyarati sebuah pengakuan oleh seseorang saat ia menghadiahi kita senyum? Demikian pula dengan yang dirasakan orang lain saat kita memberinya senyuman. Senyum yang tulus, selalu saling menyenangkan.

Masalahnya, apakah benar senyuman kita adalah lengkungan bibir yang tulus? Senyuman yang beralasan dan beralaskan kebaikan? Jika tidak, maka semua yang teruraikan di atas, akan tampak terbalik. Senyum yang terpaksa apalagi pura-pura, apalagi bernada satir, mengejek, menghina, pun selanjutnya, akan sangat menyesakkan. Baik bagi si pemberi senyum, karena secara psikis akan tertekan dengan kebohongan, kebencian dan dendam. Pun bagi si penerima senyum, ia akan merasakan kehambaran pada awalnya, lalu sangat memungkinkan akan merasa terinjak pada akhirnya. Akan menjadi sama menyakitkannya.

  Senyuman yang tidak beralasan dan beralaskan kebaikan? Benar, bahwa senyuman memberikan kebahagian. Melepaskan segala tekanan psikis. Namun, jika tak beralasan, bisa saja tekanan itu yang akan membuat setiap senyuman yang dilengkungkannya, tak menunjukan sesuatu yang baik sama sekali. Sama membahagiakannya, tapi tidak berarti apa-apa. Oleh karenanya, itu menjadi alasan lain, seorang yang emosinya terganggu dan tidak stabil, kerap tersenyum tanpa sebab. Kuncinya, alaskan setiap senyum beratasnama kebaikan, tulus, dan tidak bertopeng kepura-puraan. Yakinkan terlebih dahulu diri sendiri, bahwa dengan tersenyum, kita terima semua alur takdir yang diberikan Allah Swt dengan penuh kesyukuran. Lalu, siap untuk bekerja keras lagi.

Baiklah, terjelaskan bahwa senyum adalah ibadah. Memberi wajah ceria. Mimik yang hangat lagi bersahabat. Lalu, disempurnakan dengan lengkungan manis di bibir, lalu diaktualisasikan dengan sikap dan ucap yang baik. Semua adalah bagian dari hal yang menyenangkan.  Sementara itu, sikap dan ucap yang menyenangkan, biasanya lahir dari hati dan pikiran yang bersih. Tentu, yang dimaksud adalah yang “benar-benar” menyenangkan-menenangkan. Bukan sandiwara dan kepura-puraan yang mengantarkan si pemberi dan penerima senyum terdera oleh rasa sakit, karena tidak merasa ada hal baik yang sudah terberikan. Demikianlah, betapa tepatnya sabda Rasulullah Saw, bahwa senyum adalah memberikan hal baik kepada sesama, dengan cara yang baik pula, “Tabassumuka fii wajhi akhiika shadaqatun—senyum manismu  di hadapan saudaramu adalah shadaqah.” (HR. at-Tirmidzi). Lantas, sudahkan hari ini kita sedekahkan senyum untuk diri sendiri juga orang lain? Allahumma shalli ‘alaa Sayyidina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihii ajma’iin.[]

Leave a comment