RAKUS

Kiki Musthafa

SETIAP kita memiliki kemampuan untuk menjadi rakus. Tentu, rakus yang selama ini berkonotasi negatif, baiknya kita pakai juga untuk sesuatu yang positif. Salah? Semoga saja tidak. Jika merujuk pada panduan literlek bahasa Indonesia, rakus kerap bersanding dengan kata tamak. Sedangkan tamak kata serapan yang berasal dari bahasa Arab—thama’—yang arti sederhananya adalah pertama, keinginan memperoleh lebih untuk diri sendiri. Kedua, agak sarkas, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang curang.

Rakus dalam berkebaikan, tak ubahnya memagari diri sendiri dari segala hal yang buruk, yang di saat bersamaan berpotensi pula membuat orang lain menjadi buruk. Apabila kebaikan tertumbuh dengan mengakar kuat di tubuh, manfaatnya akan terecap oleh yang lain. Hati yang halus melahirkan pemikiran yang baik. Pemikiran yang baik, menginisiasi ucap yang lembut. Sedangkan ucap yang lembut menjadi awal dari sikap yang terhormat dan menjadi kunci selamatnya seluruh jasad, “Salaamatul insaan bi hifdhil lisaan—selamatnya manusia karena lisannya terjaga,” demikian ungkap Rasulullah SAW dalam salah satu hadisnya.

Bermula dengan mengumpulkan segala kebaikan agar terpikir, terucap, dan tersikapkan dengan baik, bagi diri sendiri dan orang lain, itulah rakus terbaik. Dicari sebanyak mungkin, setelahnya, ditebarkan sehabis mungkin untuk kebaikan bersama. Oleh karenanya, Alquran menuliskannya dengan, “Quu anfusakun wa ahliikum naaraa—jagalah diri kalian dan keluarga kalian.” (QS. at-Tahrim: 6)

Dalam Futuhat al-Ilahiyyah potongan ayat “quu anfusakum” ditafsirkan dengan “fi tarkil ma’aashi wa fi’lith-tha’aati—dalam meninggalkan kemaksiatan dan melakukan ketaatan.” Ini mengindikasikan, bahwa menjaga diri sendiri, menjadi kunci semampu apa kita menjaga keluarga dan pihak  lainnya. Ini rakus termaksud. Rakus untuk diri sendiri dalam berkebaikan, yang kemudian dimaksudkan untuk membaikkan orang lain, setelahnya, adalah sebaik-baik rakus secara konteks dalam ranah positif. Rakus dalam perkara ukhrawi.

Lepas dari itu, rakus paling familiar di telinga kita adalah ia yang mengumpulkan harta dengan cara yang curang. Rakus paling gila yang sudah mensejarah dalam perjalanan umat manusia dan terus terwariskan hingga kini. Mendarah juga mendanging dalam tubuh setiap kita. Sekali mencoba dienyahkan, seribu kali ia tumbuh secara bersamaan. Karena disadari atau tidak, rakus adalah identitas paling bernas yang melekat di tubuh makhluk bernama manusia. Rakus yang berkonotasi negatif.

Ya, rakus untuk urusan duniawi tidak bisa dihindari. Bahkan ia menjadi induk bagi tabiat buruk lainnya. Logika terbaliknya, segala bentuk tabiat baik tersimpul dari sekuat apa seseorang bertahan dalam berkebaikan—yang dalam Islam dikenal dengan istiqamah. Sedangkan “Tajrid ‘aniddunyaa wa tarki ziinatihaa wa syahwaatihaa—menghindarkan diri dari ketamakan, ambisi pada keindahan serta keinginan kuat memperoleh materi duniawi, yang tidak berorientasi ukhrawi, adalah bagian dari kunci bertahan dalam berkebaikan. Manusia rakus, tidak mungkin berada pada tahap demikian.

Al-Faqiih Abu al-Laits menyembutkan beberapa hal yang menjadi kunci bertahan dalam berkebaikan. Tidak mengumpat. Tidak berprasangka buruk. Tidak pongah lagi sombong. Tidak melihat untuk hal-hal buruk. Tidak berkata bohong. Tidak pelit—selalu menafakahkan harta di jalan Allah SWT. Tidak hidup berlebihan, bermewah-mewahan, dst. Tidak berharap diagung-agungkan, dibesar-besarkan, dipuja-puji orang lain. Tidak pernah meninggalkan shalat. Tidak berkhianat dan selalu berpijak pada sunnah dan jama’ah.

Bayangkan, semua tabiat buruk di atas, bersumbu pada satu penyakit, yaitu rakus terhadap perkara duniawi. Rakus ingin memiliki segala hal dengan cara paling curang, menyakiti, menyisihkan, menendang, menghasut, memfitnah, dst. Manusia rakus termaksud, sudah pasti memiliki kesepuluh tabiat buruk yang diuraikan oleh Al-Faqiih Abu al-Laits—tentang kunci bertahan dalam berkebaikan.

Demikianlah, yang dimaksudkan dengan bertahan dalam berkebaikan adalah istiqamah di jalan Allah. Bersetia terhadap apa yang diperintah dan dilarang oleh Allah. Berpijak pada hukum-hukum syari’at untuk kemaslahatan bersama. Dan akhirnya, kita akan terhenti pada dua pilihan paling krusial; rakus dalam urusan ukhrawi dengan bertahan dalam berkebaikan; atau rakus dalam urusan duniawi dengan bertahan dalam keburukan? Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ali sayyidinaa Muhammad. []

Leave a comment