Baik Mudah, Buruk Susah

MELAKUKAN sesuatu hal baik, membaikkan diri, juga orang lain, sangat mudah. Tapi selalu ada onak mengusik. Merusak niat tulus dengan sesuatu hal di luar kebaikan itu sendiri. Kenyataan terbalik lainnya, melakukan hal buruk, justru sangatlah sulit. Tapi, kita selalu mempermudah adanya jalan pintas, dengan terpaksa mempersulit diri sendiri. Melakukan hal buruk. Memelihara kesalahan. Padahal, dengan berbuat baik, semuanya akan benar-benar termudahkan.

Di antara dua keadaan itu, ada enam faktor yang bisa memadamkan kebaikan. Dan juga, secara bersamaan mampu memercikkan api keburukan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam ad-Daylami, Rasulullah SAW, mengungkap enam perkara termaksud.

Sittatu asyyaa tuhbitu al-a’mal: al-isytighalu bi uyubi al-khalqi, wa qawatu al-qalbi, wa hubbu ad-dunya, wa qillatu al-hayai, wa thulu al-amali, wa dzulmun laa yantahi—Ada enam perkara yang bisa menghapus (pahala) amal kebaikan, yaitu: suka memperhatikan dan membicarakan aib orang lain, hati yang keras beku (tidak mau menerima nasihat orang lain), cinta keduniaan, kurang memiliki rasa malu, panjang angan-angan, dan senantiasa berbuat dzalim (kepada orang lain).”

Menggunjing aib orang lain, sangat menyenangkan. Terlebih, jika aib itu dari seorang yang kita benci. Maka, mencari, mengupas, membuka aibnya adalah kepuasan tersendiri. Tapi, tersadari atau tidak, sikap sepicik itu adalah petaka bagi diri sendiri. Semua amal baik hangus. Dan lebih sialnya, akan menjadi alasan terbuka dan semakin runyamnya semua aib dalam diri kita.

Sayyidina Umar bin Khaththab RA, berkata di satu kesempatan, “Man taraka al-isytighala bi ‘uyubi ghairihi, muniha al-ishlah bi ‘uyubi nafsihi—Barang siapa meninggalkan perhatiannya kepada aib orang lain, maka ia akan diberi kemampuan untuk memperbaiki aibnya sendiri.”

Hati yang keras melahirkan jiwa yang sombong. Merasa hebat. Angkuh dan pongah. Ini yang kemudian membuat kita bebal saat menerima nasihat dari pihak lain. Derajat orang sedemikian ini, tertanam di level terendah yang paling hina. Syaikh Nawawi al-Bantani menulis sebuah formulasi—hadis atau ucapan para ulama, “Man tawadlaa’ takhasysyu’an lillahi rafa’ahu Allahu, wa man tathawala ta’adzuman wa dla’ahu Allahu—Barang siapa bersikap tawadu karena Allah, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya. Barang siapa berani bersikap congkak, niscaya Allah akan menghinakannya.”

Kecintaan terhadap dunia, hilangnya rasa malu, dan panjangnya angan-angan, kerap tak terpisahkan satu dengan lainnya. Dimabuk duniawi, di penuhi angan-angan, tak jarang terlampiaskan dengan cara memutus urat malu. Menghalalkan berbagai cara agar syahwat duniawinya terpuaskan. Cara halal sulit didapat. Jalan haram dijadikan medan tempuh.

 Terakhir, si pengumbar aib orang lain, tentu memiliki hati yang keras, angkuh, sombong, lagi congkak. Mereka akan digilakan dunia. Bermuka tebal. Dan hidupnya hanya melayang dalam angan panjangnya saja. Ujung-ujungnya, dari kesemuanya, akan melahirkan sikap dzalim terhadap sesamanya. Semua kebaikan dalam dirinya akan terkubur. Segala keburukan dalam jiwanya akan tumbuh subur. Semoga kita bukan bagian dari itu.

Ya, melakukan sesuatu hal baik, membaikkan diri, juga orang lain, sangat mudah. Tapi selalu ada onak mengusik. Merusak niat tulus dengan sesuatu hal di luar kebaikan itu sendiri. Kenyataan terbalik lainnya, melakukan hal buruk, justru sangatlah sulit. Tapi, kita selalu mempermudah adanya jalan pintas, dengan terpaksa mempersulit diri sendiri. Melakukan hal buruk. Memelihara kesalahan. Padahal, dengan berbuat baik, semuanya akan benar-benar termudahkan.

Demikianlah, setidaknya enam hal yang disinggung Rasulullah SAW di atas, terjadi karena kita selalu mempersulit diri untuk berbuat baik. Padahal, sekali lagi, itu perkara mudah. Akan tetapi, kita membuatnya menjadi sedemikian sulit, dengan mengorientasikan hal baik tersebut kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Lalu, memutuskan “mempermudah” langkah dengan mengambil jalan pintas yang buruk dan menyusahkan. Akhirnya, berbuat baik itu mudah, yang sulit itu berbuat buruk. Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad SAW.[]

Leave a comment