Menghidupkan Waktu Membunuh Rasa Bosan

Kiki Musthafa

KAPAN terakhir kali kita merasa bosan menghadapi keadaan? Bisa jadi, saat

kalimat pertama di tulisan ini dibaca, kita justru sedang dibelit oleh perasaan

bosan, jenuh, letih, dengan semua aktivitas yang kita lakukan. Yang sialnya,

Apa pun profesi, pekerjaan, atau bahkan pengangguran sekalipun,

aktivitas kita dimulai dari bangun tidur. Melewatkan seharian dengan pola

yang nyaris sama setiap harinya. Dan berakhir dengan tidur di malam hari,

untuk kemudian terbangun kembali menjelang pagi.

Membosankan, kan? Hingga kemudian tiba di suatu saat, ketika

kalender yang menempel di dinding rumah kita menunjukkan angka

tertentu. Dan berkata, “Lho tidak terasa sudah mau Ramadan lagi, padahal

serasa baru kemarin.” Sementara di sisi lain, kita masih seperti tahun-tahun

sebelumnya, menjalani rutinitas yang sama. Sekalipun ada yang berubah,

bukankah yang kita jalani adalah rutinitas yang nyaris serupa: Bekerja untuk

mencari alasan bahwa besok hari masih layak dilanjutkan?

Al-Quran memandang kebosanan sebagai akibat dari kelalaian kita

memenej waktu. Ia tumbuh dari rotasi (perputaran) waktu yang terisi oleh

rutinitas serupa dalam jangka waktu yang panjang. Tidak ada variasi (dalam

konotasi positif). Atau perbedaan lain, yang memungkinkan dapat mengikis

kebosanan tersebut. Paling tidak terminimalisir.

Faktor utamanya, sangat dimungkinkankan karena hilangnya

“kebernilaian” dalam aktivitas padat kita—atau bahkan tanpa aktivitas

sekalipun. Sehingga perlahan menyeret kita pada ruang yang terasa hampa,

sepi, senyap, hambar, dan tanpa rasa. Tidak membekaskan apa pun kecuali

rasa bosan tersebut, baik untuk diri sendiri, apalagi untuk pihak lain.

Oleh karenanya, waktu yang merupakan wadah dari semua aktivitas

umat manusia, “disumpahi” oleh Allah SWT dalam awal surat al-Ashr. Waktu

adalah penentu. Hal ini dikarenakan saking berharganya si waktu. Ia sesekali

mampu membuat seseorang bersemangat, dan seringkali—justru,

memproduksi kebosanan dalam kadar yang tak terkendali. Dua akibat yang

kontradiktif tersebut, terbentuk dari sejuah mana kita memenej setiap detik

yang tersedia. Jika baik, baiklah ia. Jika buruk, buruklah ia.

Ya, kuncinya, bunuh waktu dengan berbuat kebaikan—yang

disandarkan pada keimanan kita terhadap Allah SWT. Selanjutnya habisi ia

dengan adanya kebersalingan antar-sesama, untuk menjadi penyampai

kebaikan termaksud. Membenarkan yang benar. Menyalahkan yang salah.

Dengan cara yang benar. Dengan bersenjatakan rasa sabar. “Demi waktu.

Sesungguhnya manusia ada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang

beriman dan melakukan amal sholeh (kebaikan), dan yang saling berwasiat

dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS. al-Ashr: 1-4).

Apa pun profesi, pekerjaan, atau bahkan pengangguran sekalipun,

aktivitas kita (tetap) dimulai dari bangun tidur. Melewatkan seharian dengan

pola yang nyaris sama setiap harinya. Dan berakhir dengan tidur di malam

hari, untuk kemudian terbangun kembali menjelang pagi.

Membosankan, kan? Tentu tidak. Asalkan, seluruh waktu kita penuh

sesak dengan nilai-nilai kebaikan. Hingga suatu ketika, kalender yang

menempel di dinding rumah kita menunjukkan angka tertentu. Kita lantas

berkata, “Lho tidak terasa sudah mau Ramadan lagi, alhamdulillah umur

masih panjang, dan ladang amal ibadah kita semakin luang.”

Sementara di sisi lain, kita akan tetap bertumbuh dari tahun-tahun

sebelumnya, menjalani rutinitas yang sama, namun dengan kadar

kebermanfaatan yang berbeda. Semakin lebih baik. Sekalipun ada yang

berubah, bukankah yang kita jalani adalah rutinitas yang nyaris serupa:

Bekerja untuk mencari alasan bahwa besok hari (amal baik dan ibadah kita)

masih harus ditingkatkan?

Demikianlah, rasa bosan tumbuh dari rotasi (perputaran) waktu yang

terisi oleh rutinitas serupa dalam jangka waktu yang panjang. Namun, tidak

memberikan warna yang cukup untuk melukis nilai-nilai kebaikan. Waktu

yang mati. Waktu yang harus dihidupkan. Terakhir, mari kita bunuh rasa

bosan dengan berbuat baik, sebelum kebosanan menghabisi kesempatan kita

untuk menjadi lebih baik. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad SAW.[]

Leave a comment