MEMARAHI BAHAGIA

Kiki Musthafa

MARAH adalah petaka. Tidak ada pemarah yang bahagia. Tetapi, marah adalah hal wajar. Sangat manusiawi. Adanya kekesalan. Munculnya kekecewaan. Atau, merasa tersakiti oleh pihak lain. Maka, marah sangat mungkin terumbar. Namun, kapan kita marah pada diri sendiri—saat orang lain kesal, kecewa, dan merasa tersakiti oleh sikap dan ucap kita?
Menjawab pertanyaan di atas, tak ubahnya membongkar gunung batu dengan sendok makan. Sangat sulit. Hal ini, berangkat dari kemungkinan, bahwa manusia adalah sosok egoistis. Ia akan bereaksi cepat jika merasa tersakiti. Dan berpaling—dengan cepat dan pula terkesan rapi—saat sengaja atau tak menyengaja menyakiti pihak lain. Oleh karenanya, pertanyaan itu sulit terjawab.
Sekalipun harus terjawab, maka hanya sampai pada tahap “mengakui” di hati saja. Dan mengurung “pengakuan” itu pada sudut terdalam di hatinya. Tanpa terucap melalui lisan. Atau terungkap melalui sikap. Pengakuan tersebut, akan tersimpan sebagai duri yang menyayat ketenangan batin. Dan menjadi alasan paling logis, kenapa pemarah tak kunjung merasa bahagia.
Baik, bahagia itu abstrak. Di sini, mari kita batasi, bahagia untuk yang berhasil memarahi dirinya sendiri, adalah ketenangan batin saat ia mengakuinya—disertai sikap lapang meminta dimaafkan. Hal ini berangkat dari fakta terbalik, bahwa bagi orang angkuh yang sibuk memarahi kesalahan orang lain, atau yang memarahi kesalahan sendiri—namun tanpa berupaya meminta pemaafan dari pihak yang tersakiti—adalah ketersiksaan batin karena kerap dihantui rasa bersalah.
Rasa bersalah yang tak terungkapkan, disadari atau tidak, akan menjadi pintu masuk untuk kesalahan berikutnya. Karena memelihara rasa bersalah, tidak bisa menghapus kesalahan yang terjadi. Dan justru, tak jarang akan menginspirasi kesalahan lain berikutnya. Kecuali, jika dihapus dengan memintakan maaf, dan tekad kuat untuk memperbaiki sikap dan ucap.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh At-Thabrani, dari Abu Darda, Rasulullah SAW ditanya oleh seseorang, “Ya Rasulallah dullani ‘ala ‘amalin yudkhilunil jannah—Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku amal apa yang akan memasukkan aku ke dalam surga?” Rasulullah SAW menjawab, “La taghdlab wa lakal jannah—Jangan marah, maka (berhak) bagimu surga.” Tentu, berpijak pada hadits ini, larangan marah yang disandarkan pada imbalan berupa surga, adalah syarat yang diajukan Rasulullah SAW untuk seseorang jika ingin meraih surga. Baik itu di dunia. Pun, sudah pasti, di akhirat nanti. Dan pemaknaan surga identik dengan hal-hal baik. Dan kebahagiaan termasuk di dalamnya.
Sebaliknya, jika seseorang kerap mengedepankan kemarahan dengan serta merta menghakimi kesalahan orang lain. Namun, di saat bersamaan ia lalai memarahi dirinya sendiri, karena tak berani mengakui kesalahan yang diperbuatnya. Maka, baginya neraka: Ketakbahagiaan hidup, dihantui rasa bersalah, dan dibayang-bayangi kesalahan yang enggan diakuinya.
Marah adalah petaka. Tidak ada pemarah yang bahagia. Tetapi, marah adalah hal wajar. Sangat manusiawi. Adanya kekesalan. Munculnya kekecewaan. Atau, merasa tersakiti oleh pihak lain. Maka, marah sangat mungkin terumbar. Namun, kapan kita marah pada diri sendiri—saat orang lain kesal, kecewa, dan merasa tersakiti oleh sikap dan ucap kita?
Demikianlah menjadi pemarah untuk diri sendiri yang tak lepas dari khilaf dan salah, adalah lebih baik daripada mengumbar kemarahan untuk kesalahan orang lain yang tak seberapa—dibanding tumpukan kesalahan sendiri yang kerap kita sembunyikan dengan sangat rapi. Ya, apa pun alasannya, belajar menjadi pemaaf dan berlatih menjadi seorang ksatria dengan memohonkan maaf untuk setiap kesalahan yang diperbuat, adalah tiket termudah menikmati “surga”. Menikmati segala hal yang bernama kebahagiaan. Tentu, dimulai dengan memarahi diri sendiri—agar lebih baik, dan membuka pintu maaf untuk orang lain yang ingin terbebas dari kesalahannya, agar sama-sama menjadi baik. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad SAW. []

Leave a comment