Biasa Saja

AL-IDHHAR.ORG—Bicara perkara duniawi, tak akan ada habisnya. Andai tak sesuai harapan, jalani saja dengan sabar. Andai ternyata ritmenya selaras dengan yang diinginkan, respon saja dengan syukur. Baik dan buruk, sama-sama baiknya. Tergantung dari sudut mana kita memandang. Allah Maha Tahu. Skenario yang dipersiapkan-Nya untuk kita, tak mungkin salah takar dan keliru. Semua akan bergulir sepanjang waktu. Membersamai hari dan menemani setiap langkah kita.

Ya, biasa sajalah. Mungkin itulah kunci selamat agar tidak ditaklukkan oleh peliknya urusan duniawi. Jangan terlalu berambisi, tetapi pula jangan terlalu tidak peduli. Mencari urusan duniawi harus dengan cara paling serius, agar tidak terperdaya. Prioritaskan Allah dalam setiap prosesnya. Apa pun yang kita ikhtiarkan, tujuannya tetap: Allah lagi, Allah lagi. Ketika dapat, tentu, digunakan untuk mengakomodir, memeroduksi dan menyampaikan kebaikan-kebaikan.

Terlalu berambisi pada urusan duniawi, hanya akan membuat kita merasa baik-baik saja ketika menghalalkan banyak cara. Halal dan haram menjadi tidak  tampak berbeda. Jika pun berusaha menempuh jalan halal, biasanya, hanya sebatas kemasan manipulatif untuk merampas apresiasi dari manusia. Lihat saja, caranya pun keliru: Menipu, menzalimi, memperdaya, menyingkirkan dan melemahkan pihak lain. Biasa sajalah. Baik akan tampak baik. Buruk pun sama.

Selanjutnya, perlu dicatat, jangan pula terlalu tak peduli. Urusan duniawi harus diperjuangkan. Islam tidak memiliki tempat bagi manusia-manusia malas. Islam amat menghormati para pekerja keras. Seorang muslim harus kaya dan mapan secara ekonomi. Tujuannya jelas: Untuk kemaslahatan umat dan bekal beribadah kepada Allah. Sejauh apa pun kita mengikhtiarkan urusan duniawi, jika tujuannya Allah lagi dan lagi, tidak akan terlena dan terperdaya.

Hati-hati. Kita sering kali mengatasnamakan Allah agar dipercaya manusia, tetapi sebenarnya hanya mengakomodir hawa nafsu belaka. Membangun kerajaan bisnis, meminjam embel-embel agama, tetapi menjerat sesama. Membentuk kekuatan politik, beratasnamakan umat, tetapi sektarianis, ujung-ujungnya hanya untuk kelompoknya sendiri. Mendirikan lembaga pendidikan, beratasnamakan syiar ilmu yang mulia, tetapi mengamputasi lembaga orang lain. Hawa nafsu.

Biasa sajalah. Jika demikian caranya, sulit bagi kita untuk dicintai oleh Allah. Bisa jadi Allah bingung melihat gelagat dan lelalu absurd kita selama ini. Meminjam nama-Nya, tetapi tidak melabuhkan semua tujuan hidup hanya kepada-Nya. Meminjam Allah, untuk popularitas. Meminjam Allah, untuk berkuasa dan menguasai pihak lain. Meminjam Allah, untuk memperdaya dan melemahkan sesama. Meminjam Allah, untuk dihormati oleh manusia.

Tentang hal ini, rasa-rasanya sabda Nabi Saw. berikut amat relevan: Izhad fi al-dunya, yuhibbuka Allahu. Wa izhad fima ‘inda al-nasi, yuhibbuka al-nasu—Zuhudlah kamu dalam urusan dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Zuhudlah kamu dalam hal yang berhubungan dengan manusia, niscaya manusia akan mencintaimu. Perkara zuhud ini amatlah kompleks, dilihat dari banyak aspek dan persepektif. Namun, tidak rakus pada urusan duniawi, itulah indikator utamanya.

Konstruksi hadis di atas, dimulai dengan zuhud yang melahirkan cinta dari Allah, lalu, berlanjut pada zuhud yang melahirkan cinta dari manusia. Konklusinya jelas, apabila mengedepankan zuhud duniawi, niscaya dua cinta akan didapatkan: Cinta dari Allah amatlah pasti, cinta dari manusia akan tiba tanpa meminta, menipu, apalagi memaksa. Namun, jika terlebih dahulu mengejar apresiasi dari manusia, dengan meminjam nama Allah, apakah Allah akan cinta?

Ah, membicarakan urusan duniawi, tidak ada habis-habisnya. Karenanya, biasa sajalah. Cari sedapatnya, jika dapat sedikit, alhamdulillah. Besok, cari lagi dan jangan menyerah. Jika dapat banyak, alhamdulillah. Besok, lanjut lagi, jangan berpuas diri untuk senantiasa berbagi. Jalani dengan sabar, respon dengan syukur. Ingat, jangan rakus, nanti mampus. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

 

Leave a comment