RAMADAN KEDUA DI TAHUN PANDEMI

RAMADAN KEDUA
DI TAHUN PANDEMI
Kiki Musthafa

RAMADAN kedua sejak pandemi Covid-19 tiba. Satu tahun lebih dengan banyak cerita yang hilir-mudik di layar kaca. Berita ini dan itu. Berita seperti ini dan seperti itu. Perlahan kita sudah jenuh dan terkesan pasrah. Protokol kesehatan tetap dipatuhi. Aktivitas keseharian tak boleh berhenti. Bekerja lagi. Berikhtiar lagi. Sekalipun pandemi masih menghantui. Tak ada yang bisa menunda lapar. Hidup harus kembali berputar.

Ingin disangkal dengan cara apa pun, benar, akan ada yang berbeda. Dua tahun lalu, sebelum pandemi, Ramadan kita biasa-biasa saja. Mungkin, ya, harga-harga pokok kadang mendadak sedikit naik, tetapi toh bisa kita hadapi. Puasa kita berjalan lancar, pekerjaan bisa diselesaikan, rutinitas ngabuburit masih asik, memburu takjil masih ramai, tadarus masih gemuruh sekalipun beralih ke medsos, job ceramah ustaz-ustaz semakin intens apalagi yang dikontrak televisi.

Itu dua tahun lalu. Semenjak pandemi perlahan semua berubah dan kita pun perlahan mampu menyesuaikan diri. Mulai berdamai dengan pandemi dengan tetap beraktivitas dan mematuhi protok kesehatan. Ramadan kita akan baik-baik saja. Lancar seperti tahun-tahun sebelumnya. Kita akan bersahur dengan gembira, bekerja sambil berpuasa, ngabuburit dan berburu takjil seperti biasa, berbuka dengan penuh syukur, terawih dengan khusyu’ sekalipun disergap ngantuk tiada dua. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja.

Ramadan akan membentuk kita menjadi manusia yang kuat bertahan dalam tekanan. Kokoh berdiri di tengah terjangan. Bahagia sekalipun dikepung banyak kegelisahan. Tenang meskipun diintai risiko terinfeksi andai tak mematuhi protokol kesehatan. Jika kemudian kita justru menjadi merasa takut, stres, terhimpit dan semua jenis rasa sulit lainnya, diri kitalah yang menjadi jawabannya. Ramadan tempat semua kemudahan, kita yang membuatnya rumit.

Faktanya, dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa ketika Ramadan tiba, semua potensi buruk kita terikat. Tak mungkin tereksplorasi dalam setiap ucap dan lelaku perbuatan. Biangnya, setan dan jin jahat, shufidat al-syayathin wa murdatu al-jin—demikian redaksi hadis tersebut mengatakan—terikat kuat dan libur bertugas mengganggu umat manusia. Mereka terkerangkeng dan terbelenggu. Tak memiliki daya sedikit pun untuk merusak amalan ibadah kita.

Karenanya, jika kemudian kita melakukan ma’shiyat yang menjadikan Ramadan kita menjadi susah, dalam keadaan setan libur bertugas, berarti setan dalam diri kitalah yang sedang berkuasa: Hawa nafsu kita. Cara menundukkan dan menjinakkannya adalah dengan benar-benar ber-shaum yang bukan hanya tidak makan dan minum saja. Shaum perbuatan zalim, shaum berkata-kata yang menyakitkan, shaum berpikiran buruk, shaum dari penyakit hati yang kotor.

Jika tak mampu menahan diri dari melakukan sesuatu hal yang tak pantas, berhenti, lalu menjauh dari potensi terjadinya perbuatan zalim tersebut. Jika tak mampu menutup mulut dari mengucapkan kata-kata yang melukai perasaan orang lain, berhenti, lalu pergi dan menyendiri dengan memperbanyak istigfar. Jika tak mampu membersihkan pikiran dan hati dari hal-hal yang keruh, berhenti, lalu singkirkan semua lumpur pekat itu dengan zikir yang hening dan jernih.

Dengan shaum yang sempurna, sedekah yang tulus, tadarus Al-Qur`an yang sunyi, tarawih yang khusyu’, tahajud yang tak putus, Ramadan kita akan baik-baik saja. Secara finansial bekal kita kurang, akan terasa mencukupi. Secara fisik tubuh kita lemah, akan terasa menguatkan. Secara psikis dirundung gelisah karena pandemi, akan terasa menyejukkan. Namun, apabila kita ber-ma’shiyat kepada Allah, semua yang mudah tersebut, akan teras menyulitkan, sesulit-sulitnya.

Selagi ibadah kita baik, semua akan baik-baik saja. Waghulliqat abwabu al-nirani, wa lam yuftah babun minha. Wafutihat abwabu al-jinani, wa lam yughlaq babun minha. Pintu neraka ditutup, tak mungkin terbuka. Pintu surga terbuka, tak mungkin tertutup. Neraka adalah representasi dari semua jenis rasa susah. Sementara itu, surga adalah representasi dari setiap detail kebahagiaan yang pernah tercipta. Kesusahan ditutup. Kebahagiaan dibuka.

Semua kembali kepada diri kita sendiri: Akan memilih yang mana? Jika ingin memilih rasa susah, silakan ber-shaum seadanya. Menahan lapar dan haus, tetapi ma’shiyat jalan terus. Jika ingin meraih kebahagiaan, tentu, haruslah ber-shaum dengan paket komplet. Makan dan minum ditahan, perbuatan, ucapan, pikiran dan perasaan, ikut pula ditahan dari mengeksplorasi keburukan-keburukan. Anggota tubuh kita terjauh dari ber-ma’shiyat kepada Allah.

Ini memang Ramadan kedua di tahun pandemi, tetapi itu persoalan kecil. Pandemi ini ujian, tuntaskan saja amalan terbaik Ramadan dan kita akan lolos dengan nilai terbaik, itulah persoalan terbesarnya. Jangan khawatir, kata Allah di hadis tersebut, “Hal min sailin, fau’thihi su`alahu? Hal min taibin, faatubu ‘alaihi? Hal min mustaghfirin, fastaghfara lahu?” Sebuah garansi bagi mereka yang benar-benar kembali kepada Allah di bulan Ramadan.

Tersampaikan di sana: Sesiapa yang meminta, akan Allah kabulkan. Yang bertaubat, akan diterima taubatnya. Yang memohon ampunan akan diampuni dosa-dosanya. Karenanya, sesulit, serumit, semiskin dan setakmengenakkan apa pun urusan duniawi kita, pandemi masih atau tetap lanjut, niscaya, di bulan Ramadan, semua akan menjadi mudah. Namun, dengan satu syarat: Perbaiki ibadah. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment