Ngomong Doang

Masjid Agung Kota Tasikmalaya (08/01/2021)

Ngomong doang adalah “kebohongan yang nyaris”. Andai tidak pernah dieksekusi dengan langkah nyata di masa lalu. Andai tidak pernah bervisi bagus untuk langkah terbaik di masa depan. Ah, tulisan ini juga isinya ngomong doang, kok!

__________

NGOMONG DOANG
Kiki Musthafa

BANYAK faktor kenapa kita bisanya cuma ngomong doang. Di ruang seminar, di forum diskusi, di pengajian, di mimbar, di warung kopi, di media sosial, di mana saja. Kalau sudah ngomong ini dan itu. Kalau sudah bahas ini dan itu. Apalagi kalau berpotensi memberikan keuntungan. Baik keuntungan materi atau nonmateri. Keuntungan materi, ya, ujungnya tentu uang. Keuntungan nonmateri, ya, begitu itu: Popularitas, karir cemerlang, citra baik, tepuk tangan dan uforia sanjungan. Sama, ah, ujung-ujungnya juga uang.

Salahkah? Kata siapa salah? Tentu tidak. Hak seseorang untuk melakukan hal itu dilindungi. Setidaknya dilindungi oleh diri sendiri. Semua benar. Selagi menjadi medium untuk lahirnya kebaikan dan kebermanfaatan. Untuk diri kita sendiri juga untuk orang lain. Manfaat bagi diri kita berupa kecukupan lahir dan batin. Dengan merasa tercukupi semua menjadi baik-baik saja. Secara lahir setiap yang kita inginkan teraih dengan baik. Secara batin hati terbahagiakan. Dua alasan yang cukup untuk menghindarkan diri dari stres dan merasa bermasalah.

Manfaat untuk orang lain? Harus. Jangan rakus. Apa pun yang kita dapatkan dari semua yang kita omongkan. Semuanya. Harus berorientasi untuk kebermanfaatan orang lain juga. Jangan ditelan sendiri. Tebarkan dan gunakan untuk maslahat yang lebih luas. Berikan akses untuk orang lain agar pula menikmati. Kita dapat. Orang lain dapat. Kita senang. Orang lain senang. Kita merasa aman. Orang lain merasa aman. Kita dapat jatah. Orang lain dapat jatah. Kita begini dan begitu. Orang lain dapat begini dan begitu. Empati dan kepedulian. Namun, dominan cuma ngomong doang.

Salahkah? Kata siapa salah? Tentu tidak. Jangan meremehkan omongan. Jangan merendahkan pembicaraan. Jangan menganggap enteng kata-kata. Wahyu pertama dalam Al-Qur`an berhubungan dengan membaca kata-kata. Membaca keadaan. Kata-kata adalah kenyataan yang disampaikan. Baik secara verbal atau secara literal. Omongan atau tulisan. Semua konsep besar terumuskan dalam kata-kata yang diomongkan. Bahkan konon revolusi pun bermula dari omongan ringan di warung kopi.

Ngomong itu bagus. Namun, kalau ada doang-nya menjadi kurang elok. Benar bahwa setiap orang memiliki peran masing-masing. Yang cuma jagonya ngomong doang, ya, ngomong doang. Jika omongannya baik efeknya bakal baik pula. Untuk dirinya juga untuk orang lain. Menjadi manusia yang bermanfaat. Namun, ya, apa yang kita omongkan harus merepresentasikan diri kita. Jangan cuma ngomong doang. Artinya, omongan kita adalah langkah awal untuk mengonversi omongan itu menjadi perbuatan nyata. Ngomong yang dibuktikan.

Kadang kita tidak begitu. Kalau sudah ngomong kerennya minta ampun. Sayangnya tidak sinkron dengan lelaku perbuatan. Pada banyak orang dengan ragam profesi. Di ruang seminar, di forum diskusi, di pengajian, di mimbar, di warung kopi, di media sosial, di mana saja. Ngomong harus diaktualisasikan. Setelah ngomong lanjut dengan berbuat. Kita ceramahi orang lain untuk berkata dan bersikap jujur. Sejak dalam pikiran kita harus jujur terlebih dahulu. Jangan sampai pembohong ngomong tentang kejujuran. Bagus tetapi nyebelin.

Ada hikmah yang keren dari QS. al-Shaff: 2-3, “Ya ayyuha al-ladzina amanu lima taquluna ma la taf’alun. Kabura maqtan ‘inda Allahi an taqulu ma la taf’alun—wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan.” Konteks ayat ini memang merujuk pada pembicaraan yang bohong. Seseorang berkata tentang kebaikan dalam dirinya. Namun, sebenarnya ia tidak pernah melakukannya.

Sulaiman bin ‘Umar al-‘Ujaili menafsir konstruksi istifham inkari di awal ayat itu dengan, “An yaqula al-insanu ‘an nafsihi min al-khairi ma la yaf’aluhu amma fi al-madli fayakunu kadziban—berkatanya seseorang tentang kebaikan dalam dirinya yang tidak pernah ia perbuat di masa lalu yang kenyataannya bohong.” Hikmah yang bisa kita ambil dari ayat itu, yakni ngomong doang bagian dari kebohongan apabila tidak pernah dieksekusi di masa lalu dan tidak pernah bervisi baik untuk masa depan. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment