Cinta Nabi

CINTA NABI
Kiki Musthafa

ARUS demontrasi tidak berhenti sepanjang Oktober lalu. Umat muslim dunia tersulut. Pernyataan Presiden Prancis, Immanuel Marcon, dinilai melecehkan marwah Nabi Saw. Sulit untuk dimaafkan. Sebuah pernyataan yang cacat dari seorang kepala negara. Marcon menerima akibatnya. Namanya tercatat di hati umat muslim dunia sebagai manusia penista Nabi dan perusak harmoni antarumat beragama. Negaranya limbung. Di satu sisi, harus kembali lockdown karena penularan Covid-19 yang kembali memuncak. Di sisi lain, produk-produk dari negaranya—yang sebelumnya menguasai pasar dunia—diboikot di sebagian negara berpenduduk mayoritas muslim. Ekonomi Prancis sedang menuju ambruk. Ya, Marcon, sudah jatuh tertimpa beton!

Kita layak marah. Sosok yang amat kita muliakan dihina sedemikian mudah. Alasan kebebasan berekspresi tak bisa dibenarkan. Dalam konteks menjaga kemuliaan sosok yang amat diagungkan oleh umat agama tertentu, jelas harus menjadi pengecualian. Persoalannya tidak pada regulasi yang dibuat pemerintah, tetapi pada potensi runtuhnya nilai-nilai toleransi yang amat fundamental dalam tatanan global yang beragam. Bagi penganut agama apa pun yang masih berakal waras, pernyataan Marcon tentang pemuatan karikatur Nabi Saw—sosok yang dimuliakan umat Islam—adalah tindakan bodoh dan dungu. Ia menyulut bara. Bukan hanya di negaranya yang notabene menjadi surga bagi imigran muslim Afrika, tetapi juga seluruh dunia.

Namun, mari sejenak kita beristirahat dari marah dan mengumpat. Perih dan amat sakit, benar. Dendam dan amat benci, tentu. Muak dan amat jengah, pasti. Mereka menghina Nabi, sosok mulia yang amat kita cintai. Namun, di tengah semua bara yang tersimpan di dada kita, tetiba muncul satu pertanyaan sederhana, “Sungguh, apa memang benar selama ini kita mencintai Nabi?” Pertanyaan ini hanya refleksi personal saja. Tidak ada hubungannya dengan gerakan-gerakan sahabat yang berdemonstrasi di bawah terik matahari, memboikot produk dari Prancis dan lain hal. Sama sekali tidak. Untuk seseorang yang memiliki rasa cinta yang amat sangat, ia senantiasa berinisiatif mengoreksi rasa cintanya. Tentu, tujuannya untuk memperbaiki rasa itu agar tetap ada dan semakin hidup.

Semisal, seorang suami yang benar-benar mencintai istri dan anaknya, ia akan terus memperbaiki diri setiap harinya. Baik dalam konteks menafkahi atau memberikan sikap dan ucap yang layak menjadi cermin percontohan keluarganya. Ia tak pernah berhenti mengevaluasi diri. Salah satunya, dengan mengajukan pertanyaan yang bernada meragukan dirinya sendiri agar termotivasi—untuk lebih baik lagi. Seorang murid amat menghormati gurunya. Saat berkesempatan jumpa, ia tunjukkan gestur dan ucap yang menunjukkan rasa hormat. Saat tidak bertemu, ia jaga nama baiknya dan selalu mengatakan semua hal terbaik tentangnya. Untuk menjaga rasa hormatnya, ia selalu bertanya pada dirinya sendiri tentang caranya menghormati—agar rasa hormatnya tetap terawat dalam kondisi apa pun.

Silakan hubungkan dengan percontohan lainnya dan Anda hanya perlu bertanya pada diri sendiri. Termasuk ketika Anda meragukan kecintaan Anda kepada Nabi. Kita berhak marah ketika Marcon menghina Nabi. Luapkan dan ekspresikan, tetapi jangan berlebihan. Ingat, Marcon bisa jadi cermin. Ia menghina Nabi secara terang-terangan, sementara setiap harinya kita menghina Nabi secara sembunyi-sembunyi. Nabi meminta kita jujur, peduli, setia, tidak rakus dan lainnya, kita malah berbohong, egoistis, khianat, maruk dan lainnya: Dalam konteks yang lain itu pun sebuah penghinaan, kan? Mari cintai Nabi dengan cara paling elegan: Marcon kita hadapi, diri sendiri kita evaluasi. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment