Mari Muludan

MARI MULUDAN
Kiki Musthafa

ISTILAH muludan merupakan bagian dari tradisi urang Sunda. Ia diserap dari kata maulid—bahasa Arab—yang diidentikkan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Tahun lalu, di kesempatan yang sama, saya menulis tentangmuludan dengan mengambil fokus pada refleksi perayaan hari kelahiran Nabi Saw. Kini, saya mencoba memindai fokus yang lain; melahirkan kembali keteladanan Nabi Saw dalam kehidupan sehari-hari. Selalu normatif, tetapi demikian adanya. Keteladanan yang dicontohkan Nabi Saw di masa silam adalah bekal terbaik umat untuk mengarungi masa depan. Karenanya, merayakan hari kelahirannya, sejatinya, adalah mengikhtiarkan lahirnya keteladanan tersebut—dari rahim moralitas masing-masing kita.

Keteladanan yang dicontohkan Nabi amatlah kompleks. Menyeluruh dan menyentuh banyak ruang dimana manusia beraktivitas dan menuntas hajat keseharian. Mulai dari ritualitas ibadah secara mahdlahhingga interaksi antarsesama dalam konteksghair mahdlah. Mulai dari percontohan manusia sebagai individu hingga pentamsilan manusia sebagai bagian dari entitas sosial dan lain sebagainya. Semua keteladanan yang ditunjukkan Nabi Saw dahulu, bersumber dari tuntunan wahyu yang kemudian lestari dalam perilaku para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’inhingga sampai kepada kita hari ini. Persoalannya, ada yang mengamalkannya dan ada pula yang mengabaikannya. Muludan adalah momentum untuk mengembalikan spirit keteladanan tersebut dalam setiap detik aktivitas kita.

Setidaknya, terhimpun tiga hal penting menyoal keteladanan Nabi Saw yang yang dituturkan al-Qur`an. Pertama, tentang menjadi penyampai nilai-nilai kebaikan—dalam hal ini terkait dengan formulasi hukum dan aturan-aturan yang dicatat al-Qur`an. Ini merujuk pada Q. S. al-Maidah: 67 tentang tabligh. Terjelaskan, “Ya ayyuha al-rasul balligh ma unzila ilaika min rabbika—wahai Rasul sampaikan apa yang diturunkan kepadamu (al-Qur`an) dari Tuhanmu.” Sepanjang hayatnya, Nabi Saw menyampaikan intisari wahyu yang telah diterimanya selama kurang-lebih 23 tahun. Kini, sepanjang hayat pulalah, kita dituntut untuk saling menyampaikan nilai-nilai kebaikan dalam al-Qur`an tersebut. Melalui momentum muludan, spirit ini harus kembali dilahirkan.

Kedua, tentang menjelaskan apa yang disampaikan al-Qur`an. Ini merujuk pada Q. S. al-Nahl: 44. Terjelaskan, “Wa anzalna ilaika al-dzikra litubayyina li al-nas ma nuzzila ilaihim—dan Kami turunkan al-Qur`an kepadamu untuk kamu jelaskan kepada manusia.” Sama hal dengan upaya tabligh yang Nabi Saw langgengkan sepanjang hidup, menjelaskan (tabyin) isi al-Qur`an menjadi hal yang harus diupayakan. Setiap kita, terbebani untuk saling memberi penjelasan terkait apa yang diajarkan al-Qur`an. Tentu, dengan penjelasan yang dibarengi kapasitas keilmuan agar terhindar dari kekeliruan. Dengan demikian, muludan pun adalah momentum yang tepat untuk melahirkan kembali spirit keilmuan untuk saling memberi pengajaran.

Ketiga, tentang memberikan solusi pada setiap problem yang dihadapi umat. Langkah visioner yang dahulu dicontohkan Nabi Saw. Seakan-akan, segala upaya Nabi Saw saat menjadi penyelesai masalah (problem solver) untuk umat, mengindikasikan bahwa hari ini setiap kita harus punya kemampuan untuk itu. Menyoal keteladanan tersebut, al-Qur`an mencacatnya dalam Q. S. al-Baqarah: 213. Terjelaskan, “Wa anzala ma’ahum al-kitaba bi al-haqqi liyahkuma baina al-nas fi ma ikhtalafu fihi—dan Allah turunkan bersama mereka al-Kitab (al-Qur`an) dengan benar agar dapat memutuskan perkara yang diselisihkan oleh manusia.” Tentang hal ini pun, muludan adalah momentum bagi terlahirnya kembali spirit tersebut.

Ketiga hal di atas, sejatinya, merupakan tugas kenabian. Namun, tugas kenabian yang telah dieksekusi oleh Nabi Saw dalam tindakan nyata di masa lampau, menjadi sebuah keteladanan yang harus dilahirkan kembali oleh umat di masa depan. Memang, terkesan amat eksklusif dan—seakan-akan—hanya orang dengan kapasitas keilmuan tertentu yang dibebani kewajiban tersebut. Akan tetapi, justru di sinilah pesan itu tampak. Agar bisa mengeksekui tiga keteladanan Nabi Saw di atas, haruslah berilmu terlebih dahulu. Agar bisa menjadi orang yang kompeten dan berilmu, haruslah mengaji terlebih dahulu. Karenanya, mari muludan, mari mengaji kembali. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammdin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment