Hari Santri

Masjid Agung Kota Tasik (20/10/2017)

HARI SANTRI
Kiki Musthafa

BESOK HARI (Minggu, 22/10/2017) adalah puncak perayaan Hari Santri. Pesantren yang notabene tempatnya santri, sudah meramaikan perayaan tahunan ini sejak minggu lalu. Beragam perlombaan, pengajian umum, tablig akbar, pun kegiatan lain yang seluruhnya adalah tentang unjuk eksistensi dan pengingat bahwa santri pernah ada, selalu, dan akan terus ada untuk mengawal NKRI. Sampai waktu tidak memiliki hitungan apa pun lagi. Sampai sesuatunya tidak bernama apa pun lagi.

Tulisan sederhana ini mencoba mengulas sepintas dua hal termaksud: Unjuk eksistensi dan pengingat terkait keberperanan kaum santri. Dalam lintas sejarahnya, keberadaan santri—kaum santri—tak lepas dari keberadaan pesantren. Sementara pesantren tentunya tak bisa dipisahkan dari perjalanan kiai. Lalu, perjalanan kiai tak mungkin bisa dijauhkan dari perjuangan mendakwahkan Islam di tanah air ini. Nah, pergerakan dakwah itu pun akhirnya menjadi salah satu penggerak untuk melepaskan diri dari kolonialisme—dahulu semasa zaman penjajahan.

Kini, kondisinya tentulah berbeda. Negara ini sudah merdeka sejak diproklamirkan Soekarno-Hatta pada tahun 1945. Tujuh puluh dua tahun setelah itu, hari ini, perjuangan memerdekakan Indonesia akan terus dikabarkan dan dihidupkan dalam semangat juang yang lain. Salah satunya melalui gerakan santrisasi pada banyak ruang untuk merawat kemerdekaan. Nah, sekaitan itu, Hari Santri adalah upaya untuk menunjukkan eksistensi dan keberperanan kaum santri dalam mengawal perjalanan NKRI saat ini dan masa depan.

Bicara eksistensi kaum santri, dari lensa sejarah yang setengah abad ini dikaburkan sedemikian rupa, mulai tampak ke permukaan. Semua tersadar bahwa pergerakan kemerdekaan dimulai dari pergerakan kaum santri. Tentu, ini adalah ungkapan fakta yang tanpa bermaksud menyisihkan keberperanan kelompok lain. Artinya, kaum santri bersama kelompok lainnya ikut serta merebut kemerdekaan. Akan tetapi, lain dulu, lain pula saat ini. Kaum santri dituntut berkontribusi lebih untuk menjadi penjaga moral dan motor penggerak demi Indonesia yang lebih merdeka.

Oleh karenanya, Hari Santri dengan ragam kegiatan yang digelar di seluruh pesantren di Nusantara adalah upaya untuk menunjukkan keberadaan itu. Pun menjadi alarm yang bunyinya mesti menjadi pengingat bahwa perjuangan memerdekakan Indonesia belumlah usai. Santri harus berani melewati sekat-sekat kobong untuk pula bergerak dan menjadi pengubah di sektor lain. Terjun di politik praktis untuk memimpin dengan baik. Masuk di sektor ekonomi untuk pula memajukan ekonomi umat. Pun dalam banyak hal, tak henti berkarya untuk menjadi anfauhum linn-nas.

Selanjutnya, menjadi pengingat tentang peran kaum santri dalam merawat dakwah dan merawat NKRI. Jika santri adalah personifikasi dari kiai dan kiai adalah personifikasi Nabi—al-‘ulama waraasatsatul-anbiya, kebereperanan santri nyatanya merujuk pada tugas utama Nabi. Pertama, menyampaikan (tabligh) ajaran-ajaran-Nya sesuai dengan ayat, “Yaa ayyuha-rrasulu baalligh maa unzila ilaika min Rabbika.” (QS. al-Maidah: 67). Kedua, menjelaskan (tabyin) ajaran-ajaran-Nya, “Wa anzalnaa ilaika adz-dzikra litubayyina lin-naasi maa nuzzila ilaihim…” (QS. an-Nahl: 44). Ketiga, memutuskan perkara atau problem yang dihadapi masyarakat (problem solver), “…wa anzalnaa ma’ahumul-kitaaba bil-haqqi liyahkuma bainan-naasi fiimaa ikhtalafuu fiihii.” (QS. al-Baqarah: 213). Keempat, memberikan contoh pengamalan, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a., yang menyatakan bahwa perilaku Nabi adalah praktik dari Alquran.

Ya, berangkat dari harapan yang amat tinggi, setidaknya Hari Santri bukan hanya menetapkan tanda khusus di kalender. Namun, menjadi momentum krusial untuk memukul kesadaran anak bangsa—khususnya umat Islam—bahwa eksistensi kaum santri dan keberperanannya akan menjadi penentu jatuh-bangunnya bangsa ini kelak. Terakhir, meskipun demikian, tetaplah harus ada sebagian yang mengurusi kobong dan pesantren, mengaji kitab kuning, mendaras dan mengajarkan Alquran—jangan seluruhnya pergi ke medan jihad (QS. at-Taubah: 122). Atas nama segala hal yang membanggakan, saya ucapkan, “Selamat Hari Santri. Mari kita rawat negeri ini!” Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment