MARI BERKURBAN

Masjid Agung Kota Tasik (24/06/2020)

MARI BERKURBAN
Kiki Musthafa

IDUL Adha masih seminggu lagi. Masih ada waktu untuk mempersiapkan hewan kurban. Boleh sapi, kerbau, unta atau kambing. Yang sedang dititipi rezeki lebih, baiknya sapi. Dagingnya lebih banyak. Rasanya—katanya—lebih enak. Boleh juga kerbau. Sama, dagingnya bisa dibagikan orang se-RT. Kalau punya unta, semisal, dikirim dari Arab, boleh. Lebih melimpah lagi dagingnya. Lalu, yang rezekinya sedang pas-pasan, kambing saja. Tak apa, asal jangan ayam atau bebek. Boleh sendirian. Boleh juga patungan—maksimal tujuh orang khusus untuk sapi dan onta. Namun, bagi yang rezekinya tersendat-sendat, ya, jangan memaksakan.

Berkurban hukumnya sunnah muakkad bagi yang mampu. Bagi yang tidak mampu, jadi panitianya saja sudah amat keren. Batasan seseorang dikatakan mampu adalah punya uang. Punya niat saja tidak cukup. Harus punya uang yang apabila uang tersebut dibelikan udlhiyyah—hewan kurban—kebutuhan primer hidupnya masih aman. Demikian kriteria mampu untuk berkurban. Jika ternyata sedang mampu, tetapi tidak berkurban, wah, alamat bahaya. Ada sebuah hadis yang menjelaskan bahaya tersebut. Nanti, di akhir tulisan saya kutip matan hadisnya. Ya, berikut penjelasan singkatnya.

Sebaliknya, batasan seseorang dikatakan tidak mampu, ya, tidak punya uang. Maksudnya, tidak punya uang untuk membeli udlhiyyah. Sekalipun punya, apabila dibelanjakan hewan kurban, keperluan sehari-harinya menjadi terancam. Ya, apabila Anda termasuk kategori demikian, jangan sok-sok-an. Mentang-mentang tergiur pahala tak terhingga dari berkurban, semua uang dihabiskan. Risikonya tak sembarang. Dapur tak menyala, beras tak ada, jajan anak libur sementara, belanja bulanan tertunda, jatah make-up istri tersita, wah, alamat bakal terjadi perang dunia ketiga. Karenanya, jangan memaksakan.

Akan tetapi, jangan mentang-mentang hanya berhukumkan sunnah—padahal sudah dikasih keterangan muakkad, yakni sunnah yang memiliki atensi khusus—lalu dijadikan alasan untuk bermalas-malasan. Ritual berkurban dilakukan setiap tahun. Setiap dua belas bulan sekali. Bukan setiap hari. Nah, dalam dua belas bulan itulah, kita dianjurkan untuk menabung. Menyisihkan sebagian rezeki yang ada. Ya, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi sapi, menjadi unta, menjadi kerbau, menjadi kambing. Bukan menjadi ayam dan bebek karena ayam dan bebek bisa di beli di KFC dan Rumah Makan Pak Slamet.

Karenanya, disyariatkanya kurban setiap tahun, merupakan isyarat bahwa Allah pun memerintahkan kita untuk bekerja keras setiap hari. Berkurban waktu, tenaga dan pikiran—diniatkan ibadah—agar bisa berkurban setiap Idul Adha. Pahalanya, jelas tidak terhingga. Salah satunya, pada potongan sebuah hadis terjelaskan, “… wa idza ahraqa dammuha khalaqa Allahu bikulli qithratin min dammiha ‘asyaratun min al-malaikati yastaghfiruna lahu ila yaumi al-qiyamati.” Terjelaskan, cipratan darah hewan kurban yang mengucur ke tanah akan menjadi sepuluh malaikat yang memintakan ampunan hingga hari kiamat. Keren, kan?

Alhasil, jangan pelit. Kalau ternyata sedang diluaskan rezeki oleh Allah, berkurbanlah. Sekarang sudah banyak pasar hewan dadakan. Tinggal jumpai. Ada sapi, kerbau atau kambing. Kalau ada yang jual unta, bolehlah. Jika enggan, padahal mampu, wah, bahaya. Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Man kana lahu sa’atun falam yadlha, falyamut in sya`a yahudiyyan aw in sya`a nashraniyyan.” Mampu tetapi tidak berkurban, akan meninggal dalam keadaan Yahudi atau Nasrani. Akhir yang buruk. Semoga bukan kita. Mari berkurban. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment