TENTANG SHALAT IDUL FITRI

IMG_20150215_055552

TENTANG SHALAT IDUL FITRI

Kiki Musthafa
Santri Pondok Pesantren Al-Idhhar Tasikmalaya

MEMBICARAKAN Idul Fitri, tidak bisa dilepaskan dari berjamaah shalat ‘Id di pagi hari pada tanggal 1 Syawal. Rasa-rasanya, Idul Fitri tanpa shalat ‘Id akan sama hambarnya dengan Idul Fitri tanpa ketupat. Tersebab itulah, tulisan sederhana ini hendak menyampaikan beberapa keterangan terkait shalat ‘Id tersebut, merujuk pada kitab Khasyiata Qalyubiy wa ‘Umairah-nya Syihab al-Din Ahmad al-Barlusiy al-Mulaqqab bi al-‘Amirah dan Syekh Syihab al-Din Ahmad bin Salamah al-Qalyubiy, syarah dari matan Imam al-Nawawiy di kitab Minhaju al-Thalibin, yang sebelumnya di-syarah oleh Imam Jalal al-Din bin Muhammad bin Ahmad al-Mahalliy di kitab Kanzu al-Raghibin. Pembahasan ini, merujuk pada juz pertama, tepat pada bab Shalat al-‘Idaini. Nama kitab ini poluler dengan menyatukan tiga nama pen-syarah-nya, Mahalliy-Qalyubi-‘Umairah.

Pertama, tentang hukum melaksanakan shalat ‘Id. Dalam pandangan Imam al-Syafi’i dan Imam Malik adalah sunnah mu`akkad. Artinya, sunnah yang amat dianjurkan, lebih dari sekadar sunnah, tetapi tidak sampai pada perintah wajib. Pada penjelasan lebih lanjut—dalam kitab Khasyiah al-Bajuriy karya Syekh Ibrahim al-Bajuriy, syarah ulang dari matan kitab Ghayah al-Taqrib-nya Abi Syuja’ al-Ashfahani yang di-syarah oleh Ibnu Qasim al-Ghaziy dalam Fathu al-Qarib—terperinci pandangan ulama Ahl Fiqh lainnya. Semisal, Imam Abu Hanifah berpandangan bahwa melaksanakan shalat ‘Id berada pada status wajib ‘ain—wajib bagi setiap mukallaf—dan Imam Ahmad menetapkannya sebagai fardlu kifayah—jika satu individu melaksanakan, kewajiban yang lain menjadi gugur.

Kedua, menyoal waktu pelaksanaannya. Terjelaskan di kitab Khasyiata Qalyubi wa ‘Umairah, waktu idealnya terletak antara terbit matahari sampai zawalbaina thulu’i al-syamsi wa zawaliha. Waktu zawal artinya tergelincirnya matahari dari garis vertikal saat berada di atas kepala, yakni waktu zuhur. Sementara itu, di-sunnah-kan pelaksanaanya dengan menunggu terlebih dahulu hingga matahari terangkat satu tumbak penglihatan—wa yusannu ta`khiruha litartafi’a. Sederhananya, istilah satu tumbak merujuk pada perkiraan bahwa matahari tampak terangkat di arah timur, setinggi tongkat ukuran normal. Konkretnya, satu tumbak terangkatnya matahari, sama hal dengan pertama kali tibanya waktu dluha. Dalam numerasi jam, kira-kira berada pada pukul 06.00.

Ketiga, teknis pelaksanaannya. Shalat ‘Id dilaksanakan dalam dua raka’at. Dimulai dengan takbiratul ihram dengan niat, ushalli sunnatan li ‘idil fitri rak’ataini mustaqbilal qiblati ma’muman lillahi ta’ala—apabila menjadi ma’mum. Untuk imam, hanya mengganti keterangan sebelum akhir dengan imaman. Kemudian membaca doa iftitah seperti dalam shalat lainnya. Dilanjut membaca takbir sebanyak tujuh kali untuk raka’at pertama dan lima kali untuk raka’at kedua. Jeda dari satu takbir ke takbir berikutnya, diisi dengan zikir, subhanallahi walhamdulillahi wa la ilaha illallahu wallahu akbaru wa la haula wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhimi. Setelahnya, membaca surah al-Fatihah dan surah lain dalam al-Qur`an. Lalu, ruku’, i’tidal, bersujud, duduk di kedua sujud, berdiri kembali untuk raka’at kedua, seperti raka’at pertama hingga salam. Bedanya, ada pada bacaan surah lainnya setelah membaca surah al-Fatihah.

Terdapat ketentuan tersendiri terkait membaca surah lain setelah membaca surah al-Fatihah. Masih merujuk pada kitab Khasyiata Qalyubi wa ‘Umairah, terdapat dua opsi dan kombinasi surah. Opsi pertama, pada raka’at pertama adalah surah Qaf dan raka’at kedua surah al-Qamar—iqtarabat. Keterangan ini merujuk pada hadis riwayat Imam Muslim dari Abi Waqid al-Laitsiy, “Annahu shallallahu ‘alaihi wa sallama, kana yaqra`u fi al-adlha wa al-fithri bi Qi wa Iqtarabat—sesungguhnya Rasulullah Saw membaca Qaf (surah Qaf) dan Iqtrabat (surah al-Qamar) di shalat Idul Adha dan Idul Fitri.” Opsi kedua, raka’at pertama surah al-A’la dan rak’aat kedua surah al-Ghasyiyah, disandarkan pada hadis dari Nu’man bi al-Basyir, “Annahu shallallahu ‘alihi wa sallama kana yaqra`u fihima bi sabbhihisma Rabbikal a’la wa hal ataka haditsul ghasyiyah.

Keempat, posisi shalat ‘Id dilaksanakan sebelum khubtah. Hal ini, disandarkan pula pada hadis riwayat Syaikhani, yakni Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Ibnu Umar, “Annahu Shallallahu ‘alaihi wa sallama wa Aba Bakrin wa ‘Umara kanu yushalluna al-‘idaini qabla al-khuthbati—sesungguhnya Rasulullah Saw dan Abu Bakar dan Umar mereka melaksanakan dua shalat ‘Id sebelum ber-khutbah.” Dengan demikian, posisi khutbah di shalat ‘Id  berbeda dengan khutbah di shalat Jum’at. Jika shalat Jum’at, khutbah terlebih dahulu, lalu shalat. Jika di shalat ‘Id, shalat terlebih dahulu, lalu dilanjut dengan khutbah. Sementara itu, hukum dari khutbah adalah sunnah. Artinya, sekalipun tanpa khutbah, sah-sah saja. Namun, tentu, idealnya harus dengan khutbah agar ada pesan-pesan Idul Fitri yang bisa tersampaikan melalui khatib. Karenanya, khutbah di-sunnah-kan.

Perihal rukun khtubah pada shalat ‘Id sama dengan rukun yang berlaku pada khutbah Jum’at. Berikut rukun tersebut, (1) membaca hamdallah, (2) shalawat kepada Nabi Saw, (3) wasiat taqwa, (4) membaca ayat al-Qur`an, (5) khusus untuk khutbah kedua ditambahi membaca doa untuk orang-orang mu’min. Jika pun terdapat perbedaan antara keduanya, hal itu terletak pada cara memulai khutbah tersebut. Khusus untuk khutbah ‘Id dimulai dengan membaca takbir sebanyak sembilan kali pada khutbah pertama dan tujuh kali pada khutbah kedua—khutbah Jum’at tidak mewajibkan takbir pada setiap permulaan khutbah. Pada keterangan berikutnya, seperti halnya pada khutbah Jum’at, di-sunnah-kan untuk duduk di antara dua khutbah yang dilakukan secara berdiri tadi.

Terakhir, kelima, pada pelaksanaanya, shalat ‘Id di-sunnah-kan untuk dilakukan secara berjamaah. Artinya, dilakukan secara munfarid pun tidak menjadi persoalan dan tentu tidak ada khutbah bagi yang shalat-nya sendirian. Perihal tempat, ini kemudian menarik untuk dibahas secara spesifik agar relevan dengan konteks hari ini. Dalam keterangan yang tercatat di kitab Khasyiata Qalyubiy wa ‘Umairah terjelaskan bahwa melaksanakan shalat ‘Id akan lebih baik jika dilakukan di dalam masjid—wa fi’luha bi al-masjidi afdlalu. Tujuannya jelas, lisyarafihi, tersebab kemuliaannya masjid sebagai tempat sujud kepada Allah Swt. Namun, secara kondisional perihal tempat pelaksaannya bermuara pada beberapa opsi, tentu, berikut status hukumnya.

Hukumnya sunnah—seperti terjelaskan di atas—apabila dilakukan di dalam masjid yang memungkinkan semua jemaah tertampung di dalamnya. Sama, hukumnya sunnah pula apabila dilakukan di lapangan terbuka, selagi masjid yang biasa digunakan terbilang sempit dan tidak dapat menampung jemaah. Namun, akan menjadi makruh jika memaksakan di lapangan terbuka dalam kondisi terik menyengat, hujan atau adanya salju yang berimplikasi pada kedinginan, sementara masjid masih memungkinkan untuk dipakai dan digunakan. Demikian hal sebaliknya, sama makruh-nya jika memaksakan di masjid dalam kondisi sempit hingga berdesakan dan membahayakan—al-tasywisy, sementara di lapangan memungkinkan dan cuaca sedang bersahabat. Al-Tasywisy dalam pemaknaan awal adalah nyaring, berisik, kisruh karena sempit dan hujan.

Lantas, bagaimana jika masjid dan di lapangan tidak bisa karena beberapa aspek kemadaratan yang sulit dihindari dari keduanya? Ini yang agak rumit, tetapi jika merujuk pada kaidah ushul fiqh tentang terhimpit pada dua kemadaratan, jelas, ambil madarat yang paling ringan. Sementara itu, keterangan di kitab Khasyiata Qalyubiy wa ‘Umairah menjelaskan satu opsi yang dirasa sejalan dengan konklusi kaidah ushul fiqh di atas, “Idza wajada matharan au ghairahu wa dlaqa al-masjidu al-a’dhamu shalla al-imamu fihi wa istakhlafa man yushalli bi baqi al-nasi fi maudli’in akhara—ketika turun hujan atau madarat lainnya dan kondisi masjid yang amat sempit, shalat-lah imam di masjid tersebut (dengan secukupnya jemaah) dan sisanya shalat di tempat lain (bisa GOR, stadion dan tempat lainnya yang memungkinkan shalat ‘Id secara berjamaah dapat digelar di sana).

Penutup dari tulisan ini, fokus tertuju pada penggunaan masjid atau lapangan terbuka untuk melaksanakan shalat ‘Id di tengah kepungan pandemi. Berangkat dari pemaparan tiga paragraf sebelumnya, kesimpulannya jelas, masjid akan terkatakan sempit dan lapangan terbuka masuk dalam kategori al-tasywisy—berpotensi memunculkan madlarat—apabila pelaksanaan protokol kesehatan berupa physical distancing tidak terpenuhi. Pertimbangannya, pilih madlarat yang lebih ringan. Namun, jika ternyata semua pilihan berpotensi membahayakan keselamatan jiwa, konsep maqashid al-syari’ah tentang hifdu al-nafs harus menjadi pertimbangan berikutnya. Bisa jadi, apabila kondisinya demikian, lahir hukum haram untuk melakukan shalat ‘Id berjamaah, di masjid atau bahkan di lapangan terbuka sekalipun. Wallahu a’lamu.[]

Referensi Bacaan: Kitab Khasyiata Qalyubi wa ‘Umairah karya Syihab al-Din Ahmad al-Barlusiy al-Mulaqqab bi al-‘Umairah dan Syihab al-Din Ahmad bin Salamah al-Qalyubiy.

 

 

 

 

Leave a comment