TENTANG PERGILIRAN

Masjid Agung Kota Tasik (08/05/2020)

Kiki Musthafa

SAYA menulis artikel ini dua minggu sebelumnya (24/04), sembari berharap semua tentang Covid-19 telah lenyap ketika tulisan ini sampai ke tangan pembaca. Jika pun masih ada, tentu dengan kurva terinfeksi yang melandai, berkurang, lalu hilang. Kita berharap pandemi ini segera usai. Sudah terlalu banyak kehilangan yang kita rasakan. Tak terhitung, sekaligus tak ternilai. Namun, seperti halnya kehilangan-kehilangan sebelumnya—dalam konteks yang lebih luas—membuat kita semakin yakin bahwa tak ada yang benar-benar kita miliki. Semua dititipkan dan semua akan dikembalikan. Diambil kembali dan dipergilirkan. Perihal apa pun penyebabnya, itu hanya teknis belaka.

Tahun lalu, semisal, tabungan kita 800 juta, kini tersisa 800 ribu, besok harinya amat memungkinkan menjadi hanya 80 ribu, lalu menyusut menjadi 8 ribu, lalu tak tersisa sama sekali. Kita pernah punya pekerjaan yang bagus dengan gaji dan omset yang menjanjikan, kini terpaksa bertekut lutut di bawah bayang-bayang PHK dan kebangkrutan. Kita pernah punya jadwal undangan pembicara di sebuah seminar, di majelis pengajian, di kampus dan masjid-masjid yang audien dan jamaahnya ratusan bahkan ribuan. Kini, hanya berhadap-hadapan melalui layar di aplikasi video meeting—dengan koneksi internet yang pas-pasan. Semua berantakan setelah Covid-19 menggila dalam lima bulan terakhir.

Banyak produk yang tertahan di gudang karena gagal menemui konsumennya. Banyak perusahaan yang terpaksa merumahkan karyawan karena beban gaji yang tak seimbang dan sebagiannya nyaris gulung tikar. Banyak pembicara publik, ustaz, akademisi, honornya berkurang karena acaranya beralih ke mode tatap muka online. Banyak hal yang kehilangan apa yang telah terencana sebelumnya dan Allah mengambilnya secara tiba-tiba. Oh, ya, kawan saya pun harus membatalkan rencana pernikahan impiannya dengan ribuan undangan dan hanya dihadiri beberapa orang. Ya, banyak yang merasa kehilangan karena adanya pandemi Covid-19 ini.

Terhubung dengan semua itu—kehilangan kita pada apa yang merasa telah kita miliki, pada rencana yang merasa telah tersusun rapi, pada kesempatan yang merasa yakin akan kita dapati—hanya perihal kecakapan membujuk diri sendiri bahwa kehilangan itu pasti. Tak ada yang abadi kecuali Allah Azza wa Jalla. Semua dipergilirkan oleh Allah, tentu, untuk kebaikan kita. Yang kaya, dipergilirkan menjadi miskin. Yang miskin, mendadak menjadi kaya. Yang kuat, dipergilirkan menjadi lemah. Yang lemah, mendadak menjadi kuat. Yang bahagia, harus sedih. Yang sedih, harus bahagia. Hanya saja, butuh kesadaran dan kesabaran ekstra untuk benar-benar memahami bahwa semua adalah yang terbaik.

Konsep al-Qur`an tentang pergiliran ini merujuk pada wa tilka al-ayyamu nudawiluha baina al-nas. Dalam pemahaman konteks yang lebih luas, ayat ini mengindikasikan bahwa semua yang hidup di muka bumi akan dihadapkan pada pergiliran yang dinamis—dalam konotasi positif. Ada hikmah yang bisa dipelajari sebagai bekal terbaik untuk memulai langkah-langkah berikutnya yang sempat terhenti. Semua yang memutar, bersilih ganti, bergilir, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sekarang di atas, besok di bawah. Sekarang di kanan, besok di kiri. Sekarang di depan, besok di belakang. Sekarang di sini, besok di sana. Sekarang seperti ini, besok seperti itu dan seterusnya.

Kembali pada realitas kita di tengah pandemi, wabah ini hanyalah hal teknis yang Allah atur untuk mempergilirkan apa saja di hidup kita. Perihal ada ribuan saudara kita yang wafat, rezeki yang tersumbat, limit dan ketentuannya sudah diatur, jauh sebelum pandemi, jauh sebelum manusia parkir ke muka bumi. Kenyataan yang sulit memang, tetapi masihkan ada pilihan selain yakin bahwa Allah masih mencintai kita? Karenanya, baik terpahami sebagai azab untuk mengingatkan kita atau sebagai musibah untuk menguji kita, atas nama cinta kepada Allah, mari pupuk sabar, mari pupuk istighfar. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment