Masjid Agung Kota Tasik

Masjid Agung Kota Tasik (01/05/2020)

Ramadan didesain oleh Allah sebagai tempat karantina dan isolasi mandiri, agar virus bernama nafsun lawwamah—nafsu yang buruk—yang menginfeksi kita sejak lahir, bisa dilumpuhkan. Imun kita adalah iman dan ber-shaum adalah vaksin yang paling menjanjikan.

________________

LOCKDOWN 30 HARI
Kiki Musthafa

PEMERINTAH sudah memberlakukan PSBB di beberapa kota, kita akan me-lockdown diri sendiri hingga Lebaran tiba. Tentu, dengan ber-shaum mulai dari waktu imsak, kisaran pukul empat waktu sahur sampai pukul enam sore di waktu magrib. Teknisnya, mengunci mulut dari dilewati makanan dan minuman di siang hari. Menggembok lisan dari mengucapkan hal-hal buruk, fitnah, hasutan dan kebohongan. Memborgol tangan dari menyakiti, menampar dan melukai harga diri orang lain. Mengikat kaki dari menginjak tempat yang membuat kita berjarak dengan Allah. Menyapu ragam kotoran hati dan pikiran yang menjadikan kita picik merespon setiap kejadian. Ramadan adalah momentum yang tepat untuk me-lockdown diri, melumpuhkan nafsun lawwamah yang terus menginfeksi.

Lisan ibarat pisau, bahkan konon jauh lebih tajam. Ia bisa digunakan untuk mengiris bahan masakan, bisa pula untuk mengiris hati dan perasaan. Nyaris, setengah dari keburukan manusia, bermula dari lisan yang tak terjaga. Dalam sabda Nabi Saw., terjelaskan bahwa indikator selamatnya manusia adalah selamatnya lisan dan ucapan mereka—salamatul insan bi hifdil lisan. Orang Sunda dahulu menafsirkan hadis tersebut dengan, “Hade ku basa goreng ku basa—bagus karena ucapan, buruk pun tersebab ucapan.” Sederhananya, baik-buruknya seseorang terukur dari baik-buruknya kata-kata yang diucapkan. Kata-kata bisa melahirkan permata, bisa pula memunculkan petaka. Kata-kata menjadi cermin baik-buruknya tabiat seseorang.

Selanjutnya, tangan dan kaki ibarat mesin. Secara mekanistik ia digerakkan olah hati dan pikiran—setelah menyerap dan menyimpulkan beragam rekomendasi dari indra lainnya. Mata yang melihat, telinga yang mendengar, hidung yang mencium bau, permukaan kulit yang meraba, semua direspon oleh pikiran untuk ditimbang dan secara intuitif dikurasi oleh hati untuk disimpulkan. Jika kesimpulannya baik, akan teraktualisasi dengan baik melalui sikap dan perbuatan. Jika buruk, tentu, keburukanlah yang akan terlahir kemudian. Karenanya, proses filterasi di mata terhadap apa yang dilihat, di telinga menyoal apa yang didengar, di hidung perihal apa yang dicium, di kulit tentang apa yang raba, amatlah penting. Setidaknya, serap yang baik, buang yang buruk.

Kemudian, hati dan pikiran ibarat takaran. Ia seakan memiliki otoritas untuk menimbang dan memutuskan, layaknya seorang hakim di pengadilan. Apabila yang didapatkan indra dari melihat, mendengar, mencium dan meraba adalah hal-hal baik, berpotensi baik pula pertimbangan dan kesimpulan yang didapatkan, terucap dengan baik oleh lisan, tereksekusi dengan baik oleh sikap dan perbuatan. Lisan, tangan-kaki, hati-pikiran, satu perangkat beramal saleh yang harus bersinergi dalam teamwork yang kompak. Lisan mengakomodir qaulan sadidan, qaulan kariman, qaulan layyinan—perkataan lembut, mulia dan halus. Kaki dan tangan mengorganisir kaifiyyah dalam kerangka amalan shalihan berbekal ghayah yang kuat. Lalu, hati dan pikiran mengimpulsi niyah yang lillah, fillah, billah.

Sayangnya, semua formulasi hebat di atas, bisa berantakan dan nirfungsi, apabila kita gagal me-menej iman dan kalah dalam mengendalikan hawa nafsu. Karenanya, Ramadan didesain oleh Allah sebagai tempat karantina dan isolasi mandiri, agar virus bernama nafsun lawwamah—nafsu yang buruk—yang menginfeksi kita sejak lahir, bisa dilumpuhkan. Imun kita adalah iman dan ber-shaum adalah vaksin yang paling menjanjikan. Konon, tersebab masa inkubasi virus ini berlangsung sepanjang hayat, mari lockdown dan shaum-kan lisan, kaki dan tangan, hati dan pikiran, setidaknya, satu bulan selama Ramadan. Pasalnya, Ramadan sehat, akan sehat selamanya. Ramadan sakit, akan sakit selamanya. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhamadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment