Istighfar dan Antivirus Corona

Oleh: Kiki Musthafa 
(Aktivis, Penulis di Masjid Agung Kota Tasikmalaya, Mahasiswa Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Pascasarjana UIN Bandung)

“Secara medis-klinis, antivirus Corona memang belum ditemukan, tetapi secara doktrinal-teologis, memperbanyak istighfar adalah salah satu jawaban…”

KATANYA, Presiden Jokowi sudah memesan 5 juta obat Corona; 2 juta Avigan dan 3 juta Chloroquin. Kedua obat tersebut, disinyalir bisa membantu proses penyembuhan pasien positif Corona. Di dalam negeri, peneliti dari Universitas Airlangga Surabaya, diberitakan sudah menemukan formula vaksin Corona yang diracik dari sari rempah-rempah atau curcuma herbal—sebagai penguat daya tahan tubuh. Selebihnya, di grup-grup WA beredar pula ragam anjuran dokter untuk meminum jahe merah, kunyit dan lainnya. Konon, senyawa gingerin pada jahe bisa untuk antiinflamasi atau radang flu yang identik dengan gejala terinfeksi Corona. Artinya, semua orang baik sedang berikhtiar melakukan yang terbaik. Namun, hanya obat saja, sementara untuk antivirusnya belum ditemukan.

Pada kesempatan lain, mulai hari Senin (22/03) pemerintah sudah memulai rapid test di beberapa daerah yang dinilai sebagai zona merah penyebaran Corona. Tes cepat yang berhasil diterapkan Korea Selatan untuk menekan angka penyebaran, diharapkan bisa pula mengurangi angka terinfeksi di Indonesia. Ikhtiar melawan Corona, mulai dari menyiapkan obat yang secara medis dinilai bertaji hingga peran aktif pemerintah melakukan tes cepat, menjadi harapan baru yang tidak boleh padam. Namun, sekalipun ikhtiar lahiriyyah kita dalam menangkal virus Corona nyaris terkatakan maksimal, ada lebih baik, apabila kita sempurnakan pula ikhtiar batiniyyah-nya. Istighfar, kali ini kita akan membicarakan istighfar.

BACA JUGA: Ada atau Tidak Corona, Takutkah Aku Akan Kematian?

Secara sederhana, ber-istighfar adalah langkah awal bertaubat kepada Allah—sebelum menyesal semenyesal-menyesalnya dan beriktikad untuk tidak mengulangi kesalahan serupa. Di sisi lain, setiap detik yang Allah titipkan setara dengan kesempatan bertaubat yang Allah berikan. Manusia tak mungkin lepas dari salah dan lupa, karenanya, detik-detik yang menjadi menit, jam, hari, minggu, bulan, bahkan tahun, akan sia-sia jika tidak dimaksimalkan dengan senantiasa memohon ampunan. Konon, manusia yang paling rugi adalah mereka yang tidak pernah ber-istighfar dalam sehari, sekalipun hanya satu kali. Ada kesempatan bertaubat yang disia-siakan, sementara tak seorang pun tahu kapan ia harus menjamu kematian. Rugi, serugi-ruginya.

Dalam sebuah hadis dikisahkan bahwa Rasulullah Saw bertaubat kepada Allah sebanyak 70 kali dalam satu hari. Di hadis lainnya, disampaikan lebih, yakni 100 kali dalam sehari. Artinya, Rasulullah Saw yang jelas-jelas ma’shum—terjaga dari berbuat dosa—masih tetap bertaubat dan melanggengkan istighfar. Rasulullah Saw secara tidak langsung memberikan tauladan yang mengena. Kita, yang amat pasti berbuat dosa setiap harinya, semestinya, bertaubat dan ber-istighfar lebih dari yang dicontohkan Rasul. Pasalnya, mereka yang tidak ber-istighfar adalah mereka yang tidak berniat hati untuk bertaubat. Sementara itu, hilangnya kesadaran taubat adalah penyebab lahirnya segala bala, kemelaratan dan lain hal yang menyulitkan.

Beralih pada konteks hari ini, kita sepakat bahwa wabah Corona adalah bala dan kemelaratan termaksud. Selaras dengan hal itu, Ibnu Athaillah dalam kitab-nya Lathaif al-Minan menjelaskan, setidaknya, paling sedikit istighfar untuk menolak bala adalah 1000 kali di waktu pagi dan 1000 kali di sore hari. Dengan kata lain, seakan-akan, Ibnu Athaillah ingin memberikan penjelasan bahwa semakin banyak istighfar—dipresentasikan dalam hitungan 1000—semakin kecil kemungkinan kita diserang bala, kemelaratan, wabah penyakit dan lain sebagainya. Terlebih ada semacam garansi yang diisyaratkan al-Qur`an dalam QS. al-Anfal: 33, “Wa ma kanallahu mu’adzdzibahum wa hum yastaghfirun—dan Allah tidak akan mengazab mereka selagi mereka ber-istighfar.”

BACA JUGA: Corona, Cermin Diri

Ayat di atas adalah bagian terakhir dari sebuah ayat yang secara lengkap menjawab tantangan Abu Jahal di ayat sebelumnya, QS. al-Anfal: 32. Ia menantang Allah Swt untuk menurunkan azab terkait mempertanyakan validitas al-Qur`an. Namun, lebih dari itu, ‘ibrah dari umumnya lafaz yang bukan dari khususnya sebab di ayat tersebut, mengarah pada ketakmungkinan Allah menurunkan azab terhadap mereka yang senantiasa ber-istighfar dan bertaubat. Karenanya, secara medis-klinis, antivirus Corona memang belum ditemukan, tetapi secara doktrinal-teologis, memperbanyak istighfar adalah salah satu jawaban. Mari ber-istighfar sebanyak mungkin. Astaghfirullahal ‘adzimi al-ladzi la ila ha illa huwal hayyul qayyumu wa atubu ilaihi.[]

Sumber : https://www.islampos.com/istighfar-dan-antivirus-corona-185544/

 

Leave a comment