SETELAH BERKURBAN

SETELAH BERKURBAN, LALU APA?
Kiki Musthafa

SELAIN disyariatkan oleh agama sebagai bagian sunnah muakkad, berkurban adalah ikhtiar me-recharge semangat kepedulian kita terhadap sesama. Seperti halnya smartphone—yang nyaris dibawa ke mana pun kita pergi—rasa peduli pun bisa mengalami lowbat, kehabisan daya. Bedanya, jika daya smartphone bisa dideteksi limit habisnya, daya kepedulian kita kadang bisa tiba-tiba habis tanpa terduga. Bedanya lagi, smartphone punya ukuran pasti disandarkan pada satuan kapasitas daya, sementara kepedulian tidak, bisa sebentar sekali, bisa sekali-sekali menjadi amat lama. Apa gerangan penyebabnya?

Beberapa hari setelah ‘Idul ‘Adlha dan menyembelih hewan kurban, kita dihadapkan pada pertanyaan penting berikutnya. Berkurban bukan hanya membeli hewan kurban, menyembelihnya, lalu mendistribusikannya pada yang berhak menerimanya. Semua itu benar, tetapi menyoal ritualitas saja. Sesuatu yang disyariatkan dan memang demikianlah harusnya. Sementara itu, di balik semua yang disyariatkan, ada perintah lain yang harus ditunaikan, ada ikhtiar lain yang harus disegerakan. Karenanya, pertanyaan itu adalah, “Setelah berkurban, lantas mau apa?”

Mari kita jawab pertanyaan di atas dengan memindai proses berkurban itu sendiri. Pertama, secara ritual, ibadah berkurban sudah selesai hingga tiga hari setelah ‘Idul ‘Adlha—lihat tulisan minggu lalu (10/08/2019). Akan tetapi, kedua, secara sosial ia tidak hanya terhenti pada pendistribusian daging kurban saja. Faktanya, ada daya kepedulian lain, lebih luas dari itu, yang harus diekspolasi dalam setiap jengkal keseharian kita. Mendistribusikan daging kurban adalah simbolisasi pendistribusian daya kepedulian kita dalam banyak hal baik lainnya.

Setelah berbagi daging kurban, harus berbagi kebahagiaan. Kita dituntut mengikhtiarkan semua kebahagiaan dengan pula membahagiakan orang lain. Sehabis berbagi daging kurban, harus berbagi kesempatan. Kita dipinta memperjuangkan setiap kesempatan untuk bangkit dengan pula membuka kesempatan orang lain untuk menjadi lebih baik. Setuntas berbagi daging kurban, harus berbagi jalan. Kita didorong mencari jalan untuk sukses dengan pula membantu orang lain berjalan menemukan akses.

Setelah semua itu, kita diwajibkan berbagi harta yang Allah Subhanahu ta’ala titipkan, tenaga yang Allah mampukan dan pikiran yang Allah anugerahkan, untuk kebaikan banyak orang. Dititipi harta lebih, tutupi kekurangan orang lain. Dimampukan tenaga lebih, memampukan kelemahan orang lain. Dianugerahi pikiran lebih, cerahkan pemikiran orang lain. Me-recharge daya kepedulian kita dengan berkurban terletak pada ha-hal demikian; mengurbankan kelebihan kita untuk melebihkan orang lain. Agaknya, mentalitas seperti inilah yang sejatinya dikehendaki ‘Idul Qurban.

Beberapa hari yang lalu, Masjid Agung Kota Tasikmalaya mencoba mengikhtiarkan prosesi dan rekleksi berkurban di atas secara maksimal. Terhitung, kurang lebih sembilan sapi kurban yang disembelih dan distribusikan kepada saudara-saudara kita yang berhak menerimanya. Kini, ritualitas berkurban tersebut hendak ditransformasi secara nyata pada upaya me-recharge daya kepedulian kita terhadap sesama. Dalam waktu dekat, Masjid Agung Kota Tasikmalaya, akan kembali menggalang pengumpulan beras untuk fakir miskin.

Setidaknya, upaya mengumpulkan beras untuk fakir miskin ini adalah cara Masjid Agung Kota Tasikmalaya mengetuk kesadaran berbagi kita. Bukankah dalam setiap harta yang Allah titipkan, terdapat hak orang lain yang harus kita sedekahkan? Karenanya, kami kembali mengetuk kedermawanan para donatur dan agniya untuk menyukseskan ikhtiar baik tersebut hingga terlaksana. Secepatnya, minggu depan, akan kami informasikan ulang perihal teknis pengumpulan beras ini, setelah beberapa pihak terkonfirmasi.

Berkurban, memang tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sebagai ibadah yang dikategorikan sunnah muakkad, terdapat penekanan tersendiri bagi mereka yang sedang dimampukan. Dalam hal ini, perintah me-recharge daya kepedulian bukan hanya bagi mereka yang menyembelih hewan kurban, tetapi untuk semua yang menyaksikan Idul Adha sebagai sebuah pembelajaran. Ya, inilah jawaban itu, “Setelah berkurban, berbagi rezeki terhadap sesama, lalu besok saatnya memerdekakan diri dengan me-recharge daya kepedulian kita terhadap sesama.” Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

Leave a comment