SEHAT YANG MAHAL

SEHAT YANG MAHAL
Kiki Musthafa

KESEHATAN merujuk pada dua hal, sehat lahir dan sehat batin. Sehat lahir berarti secara fisik tubuh kita bugar dan terhindar dari hal-hal yang membuatnya sakit. Bisa digerakkan sewajarnya. Bisa dipakai untuk beraktivitas seperti biasa. Bisa diajak untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat. Sementara itu, sehat batin merujuk pada stabilnya keadaan psikis kita. Tidak merasa tertekan dan tidak pernah menekan. Tidak merasa terzalimi dan tidak pernah menzalimi. Tidak merasa diserang dan tidak pernah menyerang. Tenteram dan damai. Tenang dan santai. Sehat yang sempurna, lahir baik, batin asik.

Dua hal terkait kesehatan di atas, tentu amatlah mahal. Dititipi perkara kebendaan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sebanyak angka yang tak terhitung, seluas lautan yang tak terukur, setinggi langit yang tak tergapai, akan sia-sia jika lahir dan batin kita tersiksa. Sehat amatlah mahal. Ia tidak terbeli oleh nominal angka apa pun. Sekalipun bisa ditukar dengan uang, semisal, untuk proses penyembuhan, hakikatnya ia tidak terjual. Dengan sehat, semua yang diinginkan bisa diupayakan, semua yang dimimpikan dapat diikhtiarkan, semua yang diharapkan mampu diperjuangkan.

Tiga tahun lalu, saya kehilangan seorang kawan yang secara materi ia tercukupi bahkan lebih. Ia meninggal di usia 21 tahun setelah cukup lama berjuang mempertahankan fungsi ginjalnya yang bermasalah. Dalam satu minggu, untuk dua tahun terakhir, terhitung dua kali ia menjalani hemodialisis. Tentu, proses medisinal yang dikenal dengan cuci darah itu memakan biaya yang tak sedikit. Sakit memang tak kenal adat, ia akan meminta tagihan-tagihan rupiah dalam jumlah yang banyak. Karenanya, di keadaan demikian, sehat tampak amat mahal yang semua orang rela membelinya dengan harga berapa pun.

Tersebab gagal ginjal, keinginan dan mimpinya untuk melanjutkan studi dan menjadi aktivis jempolan, kandas karena kondisinya tak memungkinkan. Selebihnya, harapan yang ia perjuangkan untuk melamar dan mempersunting kekasih hatinya, terabaikan, tak ada orangtua yang tega menikahkan putrinya dengan lelaki yang umurnya diprediksi dalam hitungan jengkal. Tersebab sakit, keinginan, mimpi dan harapannya, tak terwujud di saat bersamaan. Hebatnya, sampai menjelang kepergiannya, tak terucap sedikit pun keluhan menyoal semua yang Allah takdirkan untuknya. Ia ikhlas. Ia sabar. Ia pulang dengan senyum.

Terlepas dari semua kisahnya, sehat tetap milik Allah. Kita hanya dititipi dan sialnya kerap kita disia-siakan. Padahal, saat kita disehatkan Allah, di tempat lain, ada yang sedang berjuang melawan penyakitnya hanya karena ingin berbuat baik, sementara kita tega berkompromi dengan hal buruk. Saat kita dikuatkan oleh Allah, di tempat lain, ada yang sedang berjuang melawan kelemahannya hanya karena ingin bermanfaat bagi sesama, sementara kita sibuk menzalimi dan saling menista. Kita masih hidup, di tempat lain, ada yang sudah meninggal dan ingin kembali ke dunia untuk bertaubat, sementara kita masih nyaman bermaksiat?

Masih ada kesempatan. Karenanya, mari kita samakan persepsi bahwa apa pun yang seolah-olah kita miliki, sejatinya, hanya sebuah titipan, termasuk kesehatan—yang haram disia-siakan. Jika sedang disehatkan, wajib untuk menjaganya dan menjadikannya alasan untuk terus lebih tha’at dan konsisten beramal baik. Jika sedang disakitkan, amat mungkin sebagai teguran bahwa kita lalai menjaga titipan atau cobaan untuk lebih shabar bertahan dalam kebaikan. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

Leave a comment