MEMAKNAI MUSIBAH

MEMAKNAI MUSIBAH
Kiki Musthafa

SAYA harus berterima kasih pada satu kesempatan baik yang mempertemukan saya dengan sahabat lama. Terhitung, sejak 15 tahun lalu adalah pertemuan terakhir kami. Waktu yang terbilang cukup lama, cukup pula untuk membuat perjumpaan kami terasa begitu pangling. Meskipun ada perubahan drastis di tubuhnya—tampak gemuk dan berisi—tetap saja canda dan ekspresinya saat bercerita masih menampakkan sisa dirinya di tahun 2004 lalu.

Di tengah perbincangan, ia sampaikan kabar bahagia. Kini, ia sudah kembali dikarunia anak perempuan dengan wajah yang nyaris sama dengan putri pertamanya. Sembari memperlihatkan foto di Instagram, saya mengangguk, dua wajah anak berusia sekitar 3 tahun itu memang identik. Bentuk wajah dan sorot matanya bagai pinang dibelah dua, nyaris sama. Ternyata, Allah Subhanahu wa ta’ala tak perlu menunggu lama untuk mengganti putri pertamanya yang meninggal di usia balita.

Sahabat satu pondok saat mesantren di MQ Tebuireng itu, bercerita tentang masa-masa terberatnya ketika ditinggal putri pertama. Seperti direnggut secara tiba-tiba, katanya, putri tercintanya dipinta Allah tanpa firasat dan tanda-tanda. Memang sempat sakit, tetapi hanya demam biasa. Tidak terlintas di benaknya bahwa demam biasa tersebut adalah cara Allah memanggil buah hatinya. Demam selama tiga hari dan di hari terakhir harus dirujuk ke rumah sakit untuk berpulang.

Saya menyesal tidak sempat mendapatkan kabar di hari penuh duka baginya. Kini, berselang beberapa tahun, saya ungkapkan betapa saya ikut merasakan kesedihan yang saat itu dirasakannya. Ikut menyesal pula, komunikasi kami terputus begitu lama sehingga kabar sesakit itu taklah bisa sampai saya terima. Saat itu, lanjutnya, hidup seperti selesai. Ia tak punya kekuatan apa pun untuk menahan dukanya sendiri dan duka istrinya yang nyaris gila ditinggal pergi.

Banyak cara dilakukannya untuk kembali bangkit dan memahami bahwa tak ada musibah yang tak bisa dihadapi. Janji Allah, katanya, tidak akan membebani manusia kecuali sesuatu yang kuat untuk ditanggungnya—la yukallifullahu nafsan illa us’aha. Saya sepakat dengannya. Tidak ada tangis yang tak bisa diredakan, tidak pula sakit yang tak bisa disembuhkan. Tidak ada luka yang tak bisa dikeringkan, tidak pula perih yang tak bisa dihilangkan. Ia tidak menyerah.

Allah tidak pernah jahat terhadap hamba-Nya. Dua minggu ditinggal pergi putri pertamanya, di tengah duka yang bagaikan hadangan kabut saat berjalan di rel kereta, dua garis biru terlihat jelas pada batang test pack. Sungguh, ia tersintak, memeluk istri dan dilanjut dengan mendaratkan sujud berderaikan air mata. Bercampur aduklah rasa yang bergemuruh di dadanya. Ia bingung, duka macam apakah yang tetiba diaduk perlahan dengan kabar bahagia?

Baginya, Allah tidak benar-benar mengambil putri pertamanya, tetapi hanya memindahkannya kembali ke rahim istrinya. Seolah hanya dipulangkan sementara dan dikembalikan sekejap mata. Bayangkan, putri keduanya lahir dan tumbuh dengan fisik yang identik dan cakap yang serupa, nyaris tak ada beda. Berangkat dari pohon sabar yang dipupuknya, kini berbuah karunia Allah yang mengalir deras tanpa henti-hentinya. Rezekinya dimudahkan. Keluarga dishalihkan.

Berangkat dari kisahnya, dapat terpahami bahwa musibah apa pun hanya diberikan sepintas saja. Jika disikapi dengan sabar, Allah akan melimpahkan kebahagiaan yang tak terbayangkan sebelumnya. Jika tidak, Allah tetap mengingatkan kita sembari memberi kesempatan agar kita memahaminya. Dalam hal ini, musibah dan sabar adalah tiket termahal untuk mendapatkan undian karunia Allah yang terkadang diberikan secara tiba-tiba. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment