BERKAH PESANTREN

BERKAH PESANTREN
Kiki Musthafa

MINGGU ini saya berkesempatan mengantarkan adik masuk pesantren untuk kali pertama. Sesuatu yang tidak mudah, setidaknya ketika pelan-pelan ikut merasakan saat terberat meninggalkan rumah, harus beradaptasi dengan lingkungan baru, terjauh dari keluarga, hidup mandiri dan seterusnya. Saya pernah berada di posisi demikian kala pertama mesantren dahulu. Karenanya, perasaan-perasaan sulit dan tertekan sedemikian itu sudah saya hafal sejak lama. Namun, meskipun demikian, sesulit dan seberat apa pun proses yang dijalani dalam mencari ilmu, tetaplah sebagai awal terbaik untuk membekali diri dengan pengetahuan yang baru. Ilmu adalah kunci dan belajar adalah ikhtiar membuka kunci tersebut.

Dalam Islam, ilmu adalah penentu diterima dan tidaknya amalan ibadah kita. Hal ini, tak lepas dari kualitas ibadah yang dijalani dengan ilmunya dan ibadah yang tidak didasari dengan ilmunya. Terkisahkan dalam sebuah hadis, suatu saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama mendatangi pintu masjid dan mendapati setan berada di sisi pintu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” Setan menjawab sembari menunjuk seseorang yang tertidur di depannya, “Saya hendak masuk masjid dan bermaksud merusak salatnya seseorang, tetapi takut dengan lelaki yang tengah tidur ini.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama kembali bertanya, “Kenapa justru lebih takut pada orang yang sedang tidur daripada kepada yang sedang salat dan bermunajat kepada Tuhan-nya?”

Ada jawaban yang kemudian menjadi pembeda antara mereka yang berilmu dan mereka yang tidak. Ini tampak dari apa yang disampaikan setan ketika ditanyai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama. Kala itu, setan menjawab, “Orang yang sedang salat itu adalah orang bodoh, amatlah mudah bagiku untuk mengganggu salatnya. Akan tetapi, orang yang sedang tidur ini adalah orang alim.” Pada kejadian tersebut, logika sederhananya, setan enggan melewati pintu yang di depannya tertidur seorang alim, ditakutkan orang alim itu terbangun dan bisa mengingatkan orang yang bodoh. Selebihnya, ibadah orang bodoh mudah digelincirkan tersebab tak tahu ilmunya, sementara orang alim tidak mudah dirobohkan karena mengerti ilmunya.

Tersebab demikian pulalah, mencari ilmu berhukumkan wajib bagi setiap muslim. Artinya, sepanjang hayat, selama nafas berhembus, selagi raga bergerak, ilmu-ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala ada di semua tempat dan kewajiban mencari, mendapatkan dan memahaminya, tak bisa diganggu gugat. Dalam sebuah hadis yang amat populer tersampaikan, “Thalabu al-‘ilmi faridlatun ‘ala kulli muslimin wa al-muslimat—mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.” Semua terbebani kewajiban yang sama. Harus saling memberi jalan dan tidak boleh ada diskriminasi atas nama apa pun, selagi sejalan dengan kemaslahatan bersama. Terlebih, dalam urusan ilmu-ilmu yang terhubung langsung dengan kesempurnaan ibadah kita.

Ada banyak cara untuk mencari ilmu. Salah satunya, tentu, masuk ke lembaga pendidikan yang konsisten bergerak di bidang pendidikan itu sendiri. Jika hubungannya dengan memperdalam ilmu agama—belakangan dikombinasikan dengan pengetahuan-pengetahuan umum—pesantren adalah pilihan yang tepat. Setidaknya, dengan belajar di pesantren, terbuka lebar kesempatan untuk memahami ilmu-ilmu agama yang terhubung langsung dengan praktik ‘ubudiyyah kita. Ya, meskipun di lembaga-lembaga lain nonpesantren kesempatan itu pun bisa didapati, tetapi ada aspek lain yang secara khusus tak didapati di luar pesantren. Minggu ini, saya berkesempatan mengantarkan adik untuk pertama kali belajar di pesantren, semoga berkah dalam banyak hal. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment