TENTANG NYECEP

Masjid Agung Kota Tasikmalaya (28/06/2019)

TENTANG NYECEP
Kiki Musthafa

JIKA penulisan nyecep kurang tepat, mohon dikoreksi. Nyecep adalah istilah urang Sunda, tetapi sangat memungkinkan, di daerah lain, ada istilah lainnya dengan pemaknaan dan berangkat dari sumbu substansi yang sama, yakni sedekah. Tradisi ini, setidaknya, menunjukkan bahwa urang Sunda memiliki sentuhan empatik yang kuat terhadap sesamanya. Ketika anak tetangga disunat, nyecep dilakukan sebagai bagian dari doa agar si anak diberikan kemampuan oleh Allah Swt untuk bisa menyunat segala hal buruk dalam hidupnya. Ya, nyecep bukan sekadar memberikan hadiah, tetapi pula bermakna doa. Bayangkan, hadiah manakah yang lebih sempurna dari sebuah pemberian yang dilengkapi dengan harapan-harapan terbaik? Nyecep pada acara sunatan memiliki keduanya.

Selanjutnya, ketika lahiran bayi, nyecep pun adalah ekspresi dari banyak doa. Besar-kecilnya nominal angka yang diselipkan di amplop, tidaklah berarti apa-apa dibanding doa terbaik semoga si bayi disalehkan sepanjang perjalanan hidupnya. Lalu, ketika hadir di acara nikahan, nyecep lebih komplet lagi. Ia bukan sebatas ungkapan bahagia dan doa, tetapi pula upaya simbolis tentang membekali pengantin yang akan mengarungi samudra kehidupan yang baru—sama halnya dengan nyecep di acara syukuran haji dalam konteks ungkapan bahagia, doa dan membekali. Sementara itu, nyecep dalam upaya meringankan beban orang lain, tidak dibatasi pada momentum tertentu. Kapan saja, selagi memungkinkan, nyecep dalam konteks ini, amat dianjurkan.

Selebihnya, nyecep pada peristiwa-peristiwa yang berkonotasi musibah. Ketika tetangga sakit, nyecep adalah upaya menghibur bahwa sakit hanya sebatas ujian dan penghapus kesalahan. Di sana, tetap, tersimpan doa dan upaya meringankan beban. Ya, setidaknya, uang dalam amplop adalah bagian dari upaya membantu biaya pengobatan yang sedang dijalani. Terlebih, saat ada yang meninggal, nyecep lebih dari segalanya, meringankan beban yang ditinggalkan, mendoakan jenazah yang akan dikebumikan. Dari keseluruhan kategorisasi nyecep, doa memiliki tempat tersendiri. Dengan kata lain, nyecep adalah doa yang diaktualisasikan dalam sebentuk pemberian. Sementara itu, doa adalah empati yang diterjemahkan dalam permohonan tertentu kepada Allah Yang Maha Rahman.

Dalam Islam, nyecep adalah sedekah itu sendiri. Sedekah yang baik, tidak boleh melibatkan manna dan adza—tindakan dan ucapan menyakitkan bagi yang menerima sedekah (Q. S. al-Baqarah: 264). Karenanya, nyecep tidak boleh dimaknai sebagai berinvestasi dan menghutangi. Semisal, saat ini kita nyecep pada kawan yang menikah, di kemudian hari si kawan harus me-nyecep balik saat kita melangsungkan acara serupa. Selayaknya sedekah, nyecep hubungan investasinya langsung dengan Allah Swt. Sedekah yang tulus, tercatat sebagai rezeki yang akan dikembalikan pada berlipat jumlah dan beragam bentuk di saat dan waktu yang tepat menurut-Nya. Jika nyecep kita tulus, niscaya orang lain pun akan digerakkan oleh Allah Swt untuk me-nyecep balik tanpa dipinta.

Demikianlah, meskipun lazimnya nyecep identik dengan lahiran bayi dan sunatan anak lelaki, tetapi secara substansial, nyecep lebih dari itu. Ia adalah sedekah dan doa pada momentum paling menyentuh dan amat diingat. Bisa merujuk pada hal-hal yang paling membahagiakan atau pada peristiwa yang paling menyakitkan. Pada diskusi lanjutan, sangat memungkinkan nyecep bisa diaktualisasi dan diekspresikan dalam banyak hal. Intinya, nyecep harus merujuk pada substansi yang sama: berbuat baik dalam bingkai doa. Jangan takut nyecep, faktanya, tidak ada rezeki yang berkurang karena disisihkan untuk kebaikan orang lain. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

Leave a comment