SYAWAL: ANTARA NIKAHAN DAN DANGDUTAN

Masjid Agung Kota Tasik (21/06/2019)

SYAWAL: ANTARA NIKAHAN DAN DANGDUTAN

Kiki Musthafa

SYAWAL tidak hanya identik dengan Lebaran dan maaf-maafan. Sebagai bulan pertama setelah berlatih fisik dan mental selama Ramadan, Syawal adalah titik nol untuk kembali memulai. Di sana, terdapat evaluasi, perbaikan dan langkah pertama yang harus digerakkan. Tentu, ini mencakup banyak hal dan salah satunya adalah memulai hidup baru dalam bingkai pernikahan. Bagi mereka yang sudah termampukan untuk menikah, Syawal merupakan pilihan ideal untuk melangsungkan akad dan menggelar resepsi pernikahan. Banyak argumentasi menyoal ini, baik dalam persepsi lokalitas Sunda atau merujuk pada anjuran secara Syara’.

Berbicara tradisi dalam term lokalitas Sunda, sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari anjuran Syara’ itu sendiri. Melalui proses akulturasi nilai, Islam dan Sunda menjadi tidak terpisahkan satu sama lain. Kearifan-kearifan Sunda tampak bersenyawa dengan nilai-nilai Islam. Semisal, saat menikah di bulan Syawal menjadi tradisi urang Sunda, alasan karuhun yang dijadikan dalil utamanya—selain anjuran agama—adalah momentum Lebaran yang menyatukan dan menjadi tungku penghangat hubungan kekerabatan. Nah, mumpung semangat silaturahmi berlebaran masih menyala, menggelar acara sakral pernikahan menjadi lebih bermakna. Lantas, apa argumentasi dasarnya dalam Islam?

Tersampaikan dalam salah satu hadis riwayat Imam Muslim, dianjurkannya menikah di bulan Syawal bermula dari persaksikan Sayyidah ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha, “Tazawwajani Rasulullahi fi syawwalin, wa bana bi fi syawwalin, fa`ayyu nisa`i Rasulillahi kana ahdha ‘indahu minni?—qala, “Wa kanat ’Aisyah Radliyallahu ‘anha tastahibbu an tudkhila nisa`aha fi Syawwalin.” Kata Sayyidah ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha di hadis tersebut, “Rasulullah menikahiku di bulan Syawal dan membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal juga. Karenanya, istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama manakah yang lebih beruntung di sisinya daripadaku?”—berkata (perawi), “Sayyidah ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha dahulu suka menikahkan wanita di bulan Syawal.”

Terhubung dengan hadis di atas, dahulu, dalam tradisi Arab Jahiliyyah, menikah di bulan Syawal kerap melahirkan kesialan dan dianggap tidak membawa keberkahan. Ini kemudian dikonfirmasi oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam al-Bidayah wa al-Nihayah secara jelas. Tersampaikan di sana bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama menikahi Sayyidah ‘Aisyah di bulan Syawal untuk pula membantah keyakinan yang menyesatkan. Kala itu, sebagian masyarakat tidak suka menikah di antara dua ‘Id—bulan Syawal, termasuk pula antara ‘Idul Fitri dan ‘Idul adlha—yang dikhawatirkan bisa menjadi penyebab adanya perceraian.

Senada dengan apa yang disampaikan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, menyoal hadis di atas, Imam al-Nawawi Rahimahullah memberikan komentarnya dalam Shahih Muslim. Tersampaikan di sana bahwa di hadis tersebut terdapat anjuran untuk menikah di bulan Syawal. Cerita yang dituturkan Sayyidah ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha dimaksudkan untuk melawan argumentasi masyarakat Arab Jahiliyyah tentang penamaan Syawal. Kata mereka, Syawal berasal dari al-isyalah dan al-raf’u yang berarti menghilangkan dan mengangkat yang berderivasi dengan makna ketidakberuntungan. Tentu, keyakinan tersebut amatlah keliru dan cerita Sayyidah ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha tentang pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama ditujukan sebagai sebuah bantahan.

Demikianlah, apa yang dianjurkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama berindikasi bahwa menikah di bulan Syawal disunahkan untuk dilakukan. Kini, anjuran tersebut telah mendaging sebagai sebuah keberkahan bagi prosesi sakral pernikahan, termasuk dalam tradisi Sunda. Namun, adanya dangdutan yang tidak senonoh dan mengumbar syahwat di penghujung acara, dikhawatirkan bisa menghilangkan dan mengangkat keberkahan tersebut. Sekalipun dangdutan sudah meneradisi dalam acara nikahan urang Sunda, jika mengumbar syahwat dan memfasilitasi banyak orang untuk bermaksiat, apakah masih layak dipertahankan? Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment