LEBARAN: KEMBALI KE TITIK NOL

LEBARAN: KEMBALI KE TITIK NOL
Kiki Musthafa

SEBELUMNYA, selamat hari raya Idul Fitri 1440 H. Tidak terasa, sebulan penuh ber-shaum, tiga hari lalu, telah kita rayakan perjuangan penuh liku itu. Malam Lebaran, gema takbir mengumandang. Di satu sisi, menghadirkan kebahagiaan yang tak terkatakan. Di sini lain, memulangkan ingatan pada saat-saat entah di masa lalu—mungkin, tentang ingatan di masa kecil, saat bertakbir keliling kampung sembari memukuli bedug di atas roda yang diarak bersamaan, mungkin pula perjuangan keras melewati mudik tahunan. Tiba-tiba, di hari ini, berselang tahun yang panjang kita kembali berlebaran. Sungguh, waktu begitu cepat, seperti melewatkan perjalanan di kereta dengan ketiduran, tahu-tahu sudah sampai di stasiun. Apa pun itu, ini Idul Fitri yang kesekian, ya, selamat berlebaran.

Terlepas dari semua romantisme tentang Lebaran, merayakan Idul Fitri bagaikan perayaan untuk kembali ke awal mula perjalanan. Di dalamnya kita merayakan perjumpaan dengan keluarga, setelah setahun terpisah jarak dan pekerjaan. Sesiapa yang pergi, sejauh apa pun perantauannya, selalu ada upaya untuk pulang saat Lebaran. Paling tidak, jika dirundung keterbatasan, hatinyalah yang ikut pulang—bisa via telepon, video call, juga media lainnya yang bisa diakses dalam genggaman. Semua kembali, semua memulai ulang. Demikian hal dengan pekerjaan, sehabis Lebaran, evaluasi satu tahun lalu adalah kunci untuk satu tahun berikutnya. Demikian hal dengan ibadah kita, catatan keburukan yang kita leburkan saat Lebaran dengan bermaaf-maafan, haruslah hilang di tahun berikutnya.

Kita telah kembali ke titik nol. Semua sepakat, titik nol bukan hanya pusat, tetapi pula garis start bagi setiap pejalan dan pengembara. Semua akan memulai kembali dari titik ini. Persoalannya, untuk mencapai akhir yang baik, titik permulaan inilah kuncinya, harus dipijak dengan langkah yang pula baik. Dalam kitabnya, al-Hikam, ibn ‘Athaillah menulis satu formulasi penting tentang ini, “Man asyraqat al-bidayah, asyraqat al-nihayah.” Menurutnya, sesiapa yang bersinar pada awalnya, akan pula bersinar pada akhirnya. Pada pemaknaan lain, sesiapa yang memulai dengan baik, akan berakhir dengan baik. Ia merupakan penentu bagi setiap hasil yang kita ikhtiarkan. Apabila baik, baiklah ia. Apabila buruk, buruklah ia.

Kata asyraqat identik dengan bersinar dan memancarkan cahaya. Sementara itu, cahaya terang selalu didekatkan dengan istilah-istilah kebaikan. Dalam pemaknaan sederhana, sesuatu yang baik selalu menerangi dirinya sendiri juga orang lain—dirinya menjadi baik dan orang lain merasakan manfaat dari kebaikan tersebut. Artinya, mampu menebar kebaikan dan kebermanfaatan, bukan hanya untuk dirinya dan orang-orang terdekatnya, melainkan pula untuk orang-orang di sekitarnya. Menebar seperti cahaya yang menerangi apa saja di sekelilingnya. Lalu, al-bidayah merujuk pada permulaan langkah. Tempat semua rencana dimulai dan dieksekusi. Tempat sehimpun tekad tertanam kuat dalam hati. Tempat semua bermula dan menjadi penentu hasil akhir yang akan didapati. Titik nol.

Syawal merupakan titik nol tersebut. Jika sehabis Lebaran ini semua yang terencana dimulai dengan kebaikan yang seperti cahaya, niscaya asyraqat al-nihayah—akan berakhir pada terang cahaya pula. Ya, semua akan berujung pada hasil yang diharapkan, yang bukan hanya bermanfaat untuk diri sendiri, tetapi juga bermanfaat untuk orang lain. Bukankah, itu pencapaian mulia bagi seseorang untuk menjadi manusia terbaik—khairu al-nas anfa’uhum li al-nas? Itulah tujuan setiap perjalanan dan pengembaran panjang kita selama setahun sebelum kembali bertemu dengan Ramadan berikutnya. Syaratnya, isi langkah pertama dengan niat, cara dan tujuan terbaik. Selamat memulai! Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment