ACARA HAOL BANI

ACARA HAOL BANI
Kiki Musthafa

PADA pelaksanaanya, halal bi halal sehabis Lebaran terkemas dalam beberapa acara, salah satunya, pertemuan keluarga besar yang merujuk pada satu nama sesepuh. Tentu, yang dimaksud di sini, bukan anggota keluarga di rumah saja yang secara kebetulan sedang berkumpul tersebab mudik, tetapi lebih dari itu. Ada ratusan, bahkan lebih, yang terikat pada satu garis keturunan yang sama. Pertemuan ini, dalam tradisi Sunda, kerap disebut dengan acara haol bani yang disandarkan pada nama buyut dan moyang, juga istilah kekerabatan di atasnya lagi. Acara sedemikian ini, diinisiasi oleh bani tertentu agar tidak terjadi pareum obor—putus hubungan kekeluargaan.

Acara haol bani dibentuk oleh dua kata, haol dan bani dengan makna yang saling terhubung. Haol dan bani merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang berarti bertemu tahun dan anak. Dalam hal ini, haul berarti mengenang bertemu tahun wafatnya seseorang yang disepuhkan dalam satu himpunan keluarga. Biasanya, acara haol diisi dengan mengirimkan doa sembari menceritakan hal-hal baik tentang sesepuh sebagai cermin bagi generasi berikutnya. Sementara itu, bani berarti keturunan dari sesepuh yang di-haul-i. Karenanya, acara haol bani harus dilengkapi dengan nama sesepuh, semisal Acara Baul Bani H. Ali Mukhtar. Dengan demikian, haol bani adalah acara berkumpulnya satu garis keturunan keluarga, bersama-sama mengirim doa pada sesepuh mereka yang sudah tiada.

Terlepas dari terminologi di atas, pada prinsipnya, acara haol bani—layaknya acara pertemuan keluarga, rekan lama, kolega, relasi, dst.—tetap merujuk pada asas silaturahmi. Intinya, menyambung kembali hubungan yang sempat terjeda oleh runitinas, terpisah oleh jarak dan ruang, terputus oleh preferensi politik dan lain hal. Kata kuncinya ada pada silaturahmi dan di sanalah inti masalahnya. Agaknya, ada persepsi yang tidak lengkap tentang silaturahmi yang belakangan terkunci pada makna pertemuan saja. Padahal silaturahmi bukan hanya tentang pertemuan, tetapi pertemuan yang bisa memberdayakan. Dalam acara haol bani—pun acara-acara halal bi halal lainnya—ini kerap terlupakan.

Pertama, tentang pemberdayaan ekonomi. Dengan kata lain, sebuah pertemuan yang melibatkan banyak orang, haruslah berdaya ekonomis—dalam konteks saling membantu. Semisal, acara haol bani, haruslah berlanjut pada membuka akses ekomoni antaranggota keluarga. Ada kebersalingan yang kemudian terjalin yang bukan hanya terhenti pada pertemuan, sambutan-sambutan, mushafahah, ramah tamah, lalu pulang. Saling membuka ruang dan kesempatan, saling membangun dan membangkitkan, saling berjabat dan menguatkan. Berbekal ikatan keluarga pada satu garis keturunan yang sama, semestinya upaya saling memberdayakan ini bisa terlaksana.

Kedua, tentang pemberdayaan ilmu. Menyoal ini, konteks ilmu menjadi amat luas. Ilmu tidak hanya tentang pengetahuan yang didiktekan di kelas, dibaca di buku-buku, didaras di majelis taklim dan dikhutbahkan di mimbar-mimbar, tetapi tentang pandangan-pandangan baru menyoal langkah terbaik apa yang harus dipijak berikutnya. Dalam pertemuan haul bani, diskusi dan uraian-uraian sedemikian ini amatlah penting tersampaikan. Keluarga adalah guru sekaligus ruang pembelajaran pertama bagi siapa pun. Karenanya, acaranya haol bani, semestinya memiliki orientasi pemberdayaan ilmu untuk saling membekali dan saling berwasiat dalam kebaikan.

Demikianlah, acara haol bani, secara prinsipil merujuk pada asas silaturahmi. Tujuan utamanya adalah untuk menjalin kembali hubungan yang sempat terjeda, terpisah atau bahkan terputus. Dalam hal ini, ruh silaturahmi bukan hanya tentang mengadakan sebuah pertemuan, tetapi menghidupkan ikhtiar untuk saling memberdayakan. Agak normatif memang, tetapi bisa jadi inilah yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama tentang, “Man sarrahu an yubsatha lahu fi rizqihi, aw yunsa`a lahu fi atsarihi, falyshil rahimahu—sesiapa yang ingin diluaskan rizki dan ditangguhkan kematianya, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” Ya, silaturahmi yang memberdayakan. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment