SHAUM ITU RINGAN

SHAUM ITU RINGAN
Kiki Musthafa

TIDAK makan dan minum sejak sahur hingga magrib, tentu bukanlah hal yang mudah. Perut melilit serasa diperas lapar. Kerongkongan dicekik oleh dahaga. Tubuh dari kepala sampai telapak kaki ditumbuk rasa lelah seakan sedang melakukan perjalanan jauh. Apalagi jika puasa—kemudian kita sebut dengan shaum—dilakukan sembari menjalani aktivitas dan pekerjaan, semua akan terasa lebih berat lagi. Padahal, sejatinya, shaum bukanlah sesuatu hal yang berat. Seharusnya shaum itu ringan dan mudah, tanpa melulu dihujani oleh keluh dan kesah. Seharusnya shaum itu membahagiakan dan menggembirakan, tanpa diliputi sedih dan rasa susah. Terlebih, shaum adalah inti dari Ramadan yang di dalamnya semua amalan baik dilipatgandakan.

Dalam al-Qur`an, menyoal shaum Ramadan disebutkan secara berantai dalam tiga ayat yang berurutan, yakni Q. S. al-Baqarah: 183, 184, 185. Pertama, tentang keterangan diwajibkannya, merujuk pada Q. S. al-Baqarah: 183—Ya ayyuha al-ladzina amanu kutiba ‘alaikum al-shiam. Keterangan diwajibkannya shaum terfokus pada lafaz kutiba. Menurut Amin al-Khuli, dalam Min Hadyi al-Qur`an fi Ramadan, tidak disebutnya nama Allah pada kutiba yang merupakan mabni majhul, mengindikasikan bahwa melaksanakan shaum itu amatlah berat. Di ayat lain, kutiba yang menyebutkan nama Allah merujuk pada ungkapan tentang kabar gembira, sesuatu yang tidak membebani dan ringan, seperti pada Q. S. al-An’am: 54—…faqul salamun ‘alaikum kataba rabbukum ‘ala nafsihi al-rahmah.

Lalu, pada ayat ini, terdapat ya ayyuha al-ladzina amanu dan la’allakum tattaquna dalam satu struktur ayat. Ini mengindikasikan bahwa tidak semua orang beriman juga bertakwa. Karenanya, shaum yang dalam prosesnya bukan hanya menahan perut dari makan, minum, dan juga syahwat adalah ikhtiar untuk menaikkan derajat orang beriman agar menjadi pula bertakwa. Takwa yang bukan hanya menyoal ritualitas ibadah mahdlah, tetapi juga menjaga diri, keluarga, orang lain dan lingkungan dari beragam madarat—sebagai implementasi ibadah ghair mahdlah. Tersebab itulah, dalam pencapaian tertentu, derajat shaum seseorang pun ditentukan oleh sejauh mana ia menjaga hati, pikiran, ucap dan perbuatan.

Kedua, tentang keringanan berpuasa yang merujuk pada ayyaman ma’dudat pada Q. S. al-Baqarah: 184—yang berarti hari yang dapat dihitung. Ayat ini seakan menegasi kesimpulan ayat sebelumnya yang mengindikasikan bahwa shaum amatlah berat. Pada ayat lainnya, penggunaan kata ma’dudat tetap merujuk pada hitungan yang sedikit, seperti pada Q. S. al-Baqarah: 80, 203 dan Q. S. Ali Imran: 24. Ini isyarat bahwa berpuasa hanya sebulan saja, sebentar, tetapi menjadi penentu baik-buruknya kita pada sebelas bulan yang tersisa—dalam konteks takwa. Terlebih, pada Q. S. al-Baqarah: 184 ini, dilengkapi dengan keringanan bagi yang sakit (maridlan), sedang dalam perjalanan (aw ‘ala safarin) dan yang berat melaksanakan puasa tersebab hal tertentu (alladzi yuthiqunahu).

Ketiga, tentang waktu shaum yang terfokus pada awal ayat Q. S. al-Baqarah: 185—syahru ramadlana al-ladzi unzila fihi al-qur`an. Kata unzila dalam beberapa derivasinya, menunjukkan pada sesuatu yang dapat dicapai dengan panca indra—seperti pada Q. S. Q. S al-‘Araf: 26 dan Q. S. al-Hadid: 25. Dengan kata lain, unzila identik dengan perpindahan tempat dalam jarak yang dekat. Karenanya, secara secara semantik, awal ayat di atas menunjukkan arti al-Qur`an yang didekati pada bulan Ramadan. Oleh sebab itulah, di bulan Ramadan amat dianjurkan untuk mendaras, mempelajari dan mengamalkan al-Qur`an. Analoginya, puasa adalah keinginan mencapai tempat bernama takwa, Ramadan adalah mobilnya, al-Qur`an adalah bensinnya. Jika sudah demikian, shaum semestinya haruslah terasa ringan. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment