RAMADAN: HARUS BAHAGIA

RAMADAN: HARUS BAHAGIA!
Kiki Musthafa

SELAMAT datang Ramadan. Selamat untuk semuanya. Tahun ini, kita masih dikaruniai umur dan kesehatan untuk kembali menjumpai Ramadan. Anugerah besar berupa kesempatan baik inilah yang amat disayangkan apabila disia-siakan. Selama satu bulan penuh, Ramadan menyajikan banyak menu amalan baik yang seluruhnya akan dilipatgandakan. Sekali lagi, sayang jika dilewatkan begitu saja. Fadlail-nya tak terhitung, keutamaan-keutamaan yang tidak ada di bulan selain Ramadan, kini terhampar luas di depan mata. Karenanya, tidak ada alasan bermuram muka menghadapi Ramadan. Bulan suci ini harus disambut dengan penuh suka cita. Sesulit dan serumit apa pun, di bulan Ramadan, semua harus bahagia! Kuncinya, harus khusyu’ dan ikhlash.

Pertama, khusyu’. Meskipun untuk benar-benar khusyu’ adalah hal berat, setidaknya berusaha keras untuk khusyu’ merupakan ikhtiar mulia. Khusyu’ secara bahasa bermakna al-sukuun yang berarti diam atau tenang dan al-tadzallul yang merujuk pada merendahkan hati. Dengan demikian, khusyu’ dalam beribadah berarti mendiamkan dan menenangkan hati sembari merendah di hadapan Allah Subhaanahuu wa ta’alaa. Fokus saja bahwa semua yang kita lakukan, seluruhnya untuk meraih rida Allah. Tepis segala hal yang berorientasi duniawi. Alihkan pada perkara ukhrawi. Pada gilirannya, hati yang khusyu’ akan memengaruhi anggota tubuh lainnya, termasuk semua fungsi indrawi, semisal penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan lainnya.

Sejatinya, untuk berusaha khusyu’ di bulan Ramadan, tidak harus sesulit berusaha khusyu’ di luar Ramadan. Pasalnya, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menjelaskan dalam hadis shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, tentang dibelenggunya setan yang tak pernah libur merusak amalan ibadah kita. Telah bercerita Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan Ibnu Hujr, mereka berkata, “Telah menceritakan kepada kami Isma’il—dia adalah Ibnu Ja’far—dari Abu Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallama bersabda, ‘Jika telah datang bulan Ramadan maka pintu-pintu surga akan dibuka, pintu-pintu neraka akan ditutup dan setan-setan akan dibelenggu dan dirantai.’” Ya, seharusnya, khusyu’ di bulan Ramadan tidaklah sulit.

Kedua, ikhlash. Secara bahasa ikhlash berakar pada kata khalasha yang berarti bersih, jernih dan murni. Semisal, air putih yang tertuang dalam gelas dan tidak tercampur apa pun. Tidak tercampur gula. Tidak pula kopi. Tidak tercampur susu. Tidak pula teh. Bersih, jernih dan murni, tanpa tercampur apa pun, bening! Demikian dengan ibadah kita. Ibadah yang ikhlash berarti ibadah yang hanya untuk Allah. Tidak dicampuri riya` (keinginan dilihat oleh orang lain) sum`ah (keinginan didengar) dan ‘ujub (membanggakan diri tersebab ibadah yang kita lakukan). Ibadah yang ikhlash, berangkat dari niah (niat), kaifiyah (cara) dan ghayah (tujuan) yang tidak terhubung dengan tiga hal buruk di atas. Kuncinya, lillah—untuk Allah, karena Allah, tersebab semua milik Allah.

Menghidupkan ruh ikhlash dalam ibadah Ramadan kita, semestinya tak pula harus rumit dan sulit. Sebagai bulan yang penuh berkah—dalam hadis shahih dijelaskan, “Qad jaa`akum syahru ramadlaana syahrun mubaarakun.” (H.R. Ahmad)—Ramadan menyimpan ragam kesempatan untuk bertambahnya kebaikan, ziyaadah al-khair, yang merujuk pada banyak hal. Semuanya telah terjamin akan baik-baik saja. Karenanya, mengorientasikan ibadah pada hal lain yang bukan untuk Allah, amatlah sia-sia. Bersihkan saja hati dan pikiran, ucap dan perbuatan, dari hal-hal buruk. Jernihkan dan murnikan ibadah Ramadan dari beragam perkara yang merusak dan menodai kesucian bulan seribu bulan ini. Lupakan semuanya, lalu simpan Allah di hati, pikiran, ucap dan perbuatan. Itulah ikhlash!

Sayangnya, mencapai khusyu` dan ikhlash bukan perkara berjalan dari kamar tidur ke ruang tengah. Dari ruang tengah ke dapur. Dari dapur ke kamar mandi. Meskipun setan dibelenggu dan keberkahan melimpah ruah selama bulan Ramadan, upaya menggapai kesempurnaan ibadah Ramadan, tidaklah semudah yang dibayangkan. Ternyata, musuh utama yang kerap menggagalkan setiap amalan ibadah kita, bukan hanya setan yang jelas-jelas dibelenggu selama Ramadan. Ternyata, jaminan untuk meraih ragam fadlail pun bukan hanya menyoal keberkahan yang diisyaratkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam salah satu hadisnya. Ya, musuh lainnya adalah hawa nafsu dalam diri kita dan melawan hawa nafsu tersebut adalah syarat untuk mendapatkan ziyaadah al-khair, keberkahan yang kita cari selama Ramadan.

Demikianlah, kunci untuk menghidupkan khusyu’ dan ikhlash dalam setiap amalan ibadah adalah berani melumpuhkan hawa nafsu yang kerap menguasai diri—termasuk menyoal semua amalan ibadah selama bulan Ramadan ini. Khusyu’ dan ikhlash yang hanya untuk Allah, karena Allah, tersebab semua milik Allah. Kini, saatnya kita dipinta untuk menikmati Ramadan dengan bahagia. Enyahkan keinginan dilihat dan didengar orang lain dengan melakukan cara-cara narsistik yang justru menyusahkan dan dapat menghapus pahala ibadah di saat bersamaan. Buang pula jauh-jauh sikap membanggakan diri karena amalan ibadah yang sudah dilakukan yang justru menyulitkan diri sendiri andai tak berhasil diapresiasi. Akhirnya, semoga Ramadan tahun ini kita dianugerahi kekuatan untuk khusyu’ dan ikhlash hingga dimampukan untuk meraih keberkahan yang tanpa batas. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

Leave a comment