TAQWA DAN DHALIM

Kiki Musthafa

DUA kata penting pada judul di atas sulit untuk sejalan. Secara harfiah saja, taqwa dan dhalim adalah dua kata yang berbeda dan berlawanan, secara maknawi, apalagi. Taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayatan yang berarti memelihara juga berarti pula melindungi sesuatu. Dalam hal ini, merujuk pada memelihara dan melindungi diri agar selamat di dunia dan di akhirat kelak. Memelihara dan melindungi diri agar tetap melaksanakan setiap kewajiban dan semua larangan yang digariskan oleh Syara’, yakni Allah dan Rasul-Nya—dalam Alquran dan hadis Rasulullah Saw.

Ada banyak variabel taqwa yang bisa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Menyoal kewajiban ibadah mahdah, semisal salat dan lainnya, tentu adalah hal yang amat kentara dan jelas—merupakan kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Menyoal ibadah ghair mahdah, ini yang kadang terabaikan karena sering kali dianggap sebagai hal sekunder yang biasa-biasa saja. Padahal, berhubungan baik terhadap sesama—dan alam—adalah bagian dari yang diperintahkan Allah kepada manusia. Dengan kata lain, secara substansi keduanya saling terikat, sama-sama ibadah yang (harus) diniatkan karena Allah.

Memelihara kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya adalah taqwa. Melindungi diri dari laku yang buruk dan menggantinya dengan sikap yang baik adalah taqwa. Memelihara senyum manis dan membuang muka masam adalah taqwa. Melindungi diri dari berkata kotor dan menggantinya dengan kata-kata yang beradab adalah taqwa. Memelihara hati dan membuang hasut juga dengki adalah taqwa. Melindungi diri dari menyimpan dendam dan menggantinya dengan saling memaafkan adalah taqwa. Memelihara uang rakyat dan membuang koruptor ke dalam penjara, ya, taqwa juga, kan?

Selanjutnya, lawan dari taqwa—selain ma’shiyat—adalah dhalim. Secara harfiah, kata dhalim dalam bahasa Arab diadopsi dari dhalama yang artinya gelap. Sementara itu, secara istilah dhalim merujuk pada sikap yang tak berprikemanusiaan dan melanggar hak orang lain. Karenanya, orang dhalim itu selalu gelap hati dan pikiran, gelap ucap dan tindakan. Ya, intinya, tentang sikap buruk yang melanggar nilai-nilai kebaikan yang terumuskan dalam Alquran dan hadis Rasulullah Saw. Dalam hal ini, sudah tentu, tidak melaksanakan perintah dan justru melakukan apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya adalah bagian dari dhalim itu sendiri—terhubung dengan ibadah mahdah dan ghair mahdah.

Dirujukkan pada aktivitas keseharian, variabel dhalim pun amatlah banyak.  Mengabaikan kebersihan lalu membuang sampah sembarangan adalah dhalim.  Membiarkan diri berlaku culas dan mencurangi orang lain adalah dhalim. Mengabaikan sapa yang baik lalu membuang wajah yang ramah adalah dhalim. Membiarkan lisan mengumbar fitnah dan melukai orang lain adalah dhalim. Mengabaikan hati yang tulus lalu membuang niat dan prasangka baik adalah dhalim. Membiarkan dendam tumbuh subuh dan saling memupuk permusuhan adalah dhalim. Mengabaikan hukum dan membiarkan koruptor kambuhan merasakan hidup bebas, ya, dhalim juga, kan?

Akhirnya, apa pun itu, taqwa dan dhalim memanglah berlawanan, tetapi dalam konteks sebab-akibat keduanya terhubung erat. Orang yang taqwa tak mungkin berbuat dhalim. Kalau ada yang mengaku ber-taqwa, tetapi masih men-dhalim-i orang lain, berarti taqwa-nya amatiran. Oleh karenanya, konklusi yang bisa diambil adalah bahwa orang dhalim sudah pasti tidak ber-taqwa—selama ia tidak bertaubat kepada Allah Swt. Sabda Rasulullah Saw. dalam salah satu hadisnya, “Ya ayyuhaa an-naasu ittaquu Rabbakum wa laa tadhlimu ahadun minkum mu`minan, wa maa dhalama ahadun mu`minan illaa intaqama Allahu minhu yauma al-qiyaamati.”—Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

Leave a comment