Catatan Ang Kiki Musthafa

REVITALISASI PENGAJIAN KITAB KUNING
SEBAGAI REFLEKSI PERJUANGAN INTELEKTUALITAS
KAUM SANTRI

Kiki Musthafa

BERANGKAT dari gerakan modernisasi pendidikan, bertumbuhlah sekolah-sekolah formal di pesantren, mulai dari PAUD, bahkan hingga universitas. Kaum santri mulai menemukan momentum untuk menunjukkan jati dirinya sebagai kaum terdidik yang nyantri—beragama dan beretika. Selepas dari pesantren, mereka menemukan panggungnya sendiri-sendiri. Ada yang lanjut menjadi kiai dan mendirikan pesantren, menjadi politisi, birokrat, pengusaha, dll. Tak ada yang keliru, semuanya menunjukkan bahwa pesantren bisa melahirkan manusia-manusia yang bermanfaat bagi sesamanya.

Akan tetapi, di balik transformasi pesantren yang semakin menjanjikan itu, ada hal fundamental yang disadari atau tidak, perlahan tersisihkan. Sebelum berdiri sekolah-sekolah formal, kurikulum pesantren total merujuk pada aktivitas mengaji. Setelahnya, fokus harus terbagi. Awalnya, ini tidak menjadi persoalan serius, mengingat proses modernisasi tersebut telah menampakkan hasil yang siginifikan. Namun, belakangan, pengetahuan pada khazanah keilmuan Islam dan autentisitas keilmuannya yang identik dengan kitab kuning, agak terbatasi—jika terlalu berat dikatakan terpinggirkan.

Padahal, ingin disangkal secara frontal atau diamini pelan-pelan, pengajian kitab kuning—melalui metode klasik yang dikenal dengan ngalogat dan sorogan—adalah ruh dari pesantren itu sendiri. Seperti halnya tubuh manusia, apabila ruhnya tercabut, ia sudah tidak lagi dikatakan hidup. Sekalipun masih mampu berdiri, ia terkesan laa yahya wa laa yamut—tidak hidup, tak pula mati. Ini kemudian menjadi perhatian serius kiai-kiai sepuh yang memang lahir dan ditempa berpuluh tahun melalui proses tradisional pesantren. Terlebih jika dihubungkan dengan ragam persoalan hukum yang muncul seiring perubahan sosial yang cepat, rasanya, urgensi untuk kembali mengaji dan mengkaji kitab kuning, tak bisa dibilang sederhana.

Kitab kuning, bukan hanya sekadar kertasnya saja yang identik berwarna kuning, tetapi lebih dari itu. Ia diindentikkan dengan tulisan-tulisan yang memuat ijtihad ulama mujtahid yang kemudian disyarah oleh ulama berikutnya—seluruhnya merujuk pada Alquran dan hadis. Karenanya, sebagai bagian dari instrumen penting dalam mendakwahkan ajaran Islam, pengajian dan pengkajian kitab kuning tidak boleh diabaikan. Lebih dari semua itu, persoalannya ternyata tidak hanya menyoal tradisi mengaji dan mengkajinya, tetapi pula secara paralel menyentuh ranah lain yang tak kalah pentingnya. Karenanya, pengajian kitab kuning harus diperkuat kembali.

Mengaji, Mengkaji dan Persoalan-Persoalan Waqi’ah

Ada dua persoalan serius yang harus didiskusikan. Pertama, berkurangnya minat dan porsi mengaji di pesantren. Kedua, munculnya persoalan waqi’ah—yang tampak belakangan ini—yang memerlukan rujukan teoretis yang lebih lengkap dalam menentukan solusi dan posisi hukumnya. Kedua hal ini yang disadari atau tidak, berangkat dari berkurangnya pemahaman terhadap kitab kuning dan mengindikasikan pengkajian Alquran dan hadis yang minim. Oleh karenanya, mencarikan solusi untuk keduanya, merupakan ikhtiar yang harus tersegerakan, mengingat memahami, mempelajari dan mengetahui hukum yang terangkum dalam Alquran dan hadis berhukumkan wajib ‘ain.

Dalam pengamatan sederhana, berkurangnya minat mengaji kitab kuning, salah satunya—di luar proses transformasi pesantren—adalah hilangnya nilai jual kitab kuning itu sendiri. Ia ditempatkan pada ranah sekunder dalam dunia pendidikan pesantren modern sebagai pengantar dasar dari banyak fan ilmu yang harus dipelajari. Tidak keliru, harus demikian. Namun, harus pula dipahami bahwa kitab kuning pun mampu memberikan akses luas pada pengkajian hukum yang aplikatif dalam kehidupan sosial bermasyarakat—yang tidak bisa dilepaskan dari persinggungan masalah fiqh, baik muamalah, munakahah, dan siasah—sehingga pengkajiannya bukan hanya mendasar, tetapi pula harus mendalam.

Imbasnya, berislam hanya berbekal semangat menggebu saja tanpa dibarengi kapasitas keilmuan yang cukup. Lalu, salah satunya, berani memposisikan hukum fiqh secara serampangan yang banyaknya dilatarbelakangi oleh ragam kepentingan. Jika memberatkan, diperingan dengan logika asal dan menukar balik dalil lainnya. Jika dianggap mengganggu, disingkirkan dengan menampilkan argumentasi tak mendasar yang berpaling dari ketentuan Syara’ sebelumnya. Hal sedemikian itu, mengindikasikan lemahnya pemahaman terhadap Alquran dan hadis yang tercermin dari rentanya pemahaman terhadap kitab kuning. Nilai jual-nya dibuat murah dan hanya dianggap pendamping bagi perkembangan sains dan teknologi yang mulai akrab dengan dunia pesantren modern dewasa ini.

Kenyataan di atas menjadi sedemikian rumit saat masalah waqi’ah muncul ke permukaan. Masalah-masalah baru yang sebelumnya tidak terjadi, muncul kini dan menjadi pertanyaan juga persoalan pelik umat yang harus segera tertuntaskan. Tentu, dibutuhkan analisis ushul yang kuat yang berangkat dari rujukan-rujukan qaul ulama yang sebelumnya telah terumuskan sempurna. Pada kondisi inilah, pengkajian kitab kuning menemukan momentumnya. Alquran yang tampak ijmali memerlukan sentuhan tafsir untuk tersampaikan secara tafshili, kontekstual dan mengena. Apabila proses mengaji dan mengkaji kitab kuning di pesantren dikurangi atau bahkan dihilangkan porsinya, sulit rasanya sampai pada keadaan dimana persoalan-persoalan waqi’ah terselesaikan pada posisi hukum yang jelas.

Revitalisasi Pengajian Kitab Kuning

Tersebab pengajian dan pengkajian kitab kuning adalah persoalan paling elementer di pesantren, solusinya adalah memperkuat kembali tradisi yang menjadi ruh sejak pesantren berdiri. Tentu, sangat vital dan memuat bobot urgensi yang tidak sembarang. Upaya yang paling mendasar adalah menempatkan kembali tradisi mengaji dan mengkaji kitab kuning pada posisi primer di lingkup pendidikan pesantren: Mengaji dulu, yang lain kemudian. Lalu, memperlengkap kurikulum mengaji yang sebelumnya dirasa kurang untuk menghadapi ragam persoalan waqi’ah—yang tentu di masa mendatang akan lebih pelik lagi. Apakah ini bagian dari retradisionalisasi? Tentu tidak—akan terjawab pada lembar lain yang lebih relevan.

Menumbuhkan kesadaran untuk menempatkan pengajian dan pengkajian kitab kuning pada fokus utama pesantren, selaras dengan menumbuhkan kesadaran akan runtuh-berdirinya pesantren di masa depan. Apa pun alasannya, inilah keniscayaan yang sulit dibantah, banyak pesantren sepuh yang kemudian runtuh, salah satu penyebabnya adalah tidak ada regenerasi sehabis kiai pendirinya wafat. Perlu digaris dibawahi bahwa yang dimaksud regenerasi di sini adalah pelanjut yang juga memiliki kapasitas mumpuni dalam pengajian dan pengkajian kitab kuning. Dengan kata lain, sebesar dan semegah apa pun sebuah pesantren secara fisik, akan perlahan mati saat ruh mengajinya tercabut dari pesantren tersebut. Sekalipun tampak ada, orientasinya sudah berbeda, bisa pesantren bisnis, pesantren politik, pesantren ini dan itu, dst.

Selanjutnya yang harus menjadi fokus utama pesantren adalah memperlengkap kurikulum yang sudah ada. Dalam hal ini, K.H. Mimin Muhaemin menggagas program Pascapesantren di Pesantren Al-Idhhar. Kurikulum Pascapesantren merujuk pada penambahan porsi pengajian dan pengkajian di berbagai fan ilmu yang dipelajari di pesantren. Mulai dari fiqh, tafsir, hadis, dst.—bagan kurikulum dan teknis pengajian telah dipresentasikan pada acara Temu Alumni Al-Idhhar ke-22. Harapannya kelak program Pascapesantren ini bisa melahirkan santri yang ‘alim alladzi ‘amila bi ‘ilmihi dan mampu menjadi problem solver untuk ragam persoalan umat. Program ini telah dan sedang berjalan untuk tiga angkatan di Pesantren Al-Idhhar. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya Pesantren Al-Idhhar sedang merefleksikan perjuangan intelektualitas kaum santri untuk masa depan umat yang lebih baik: Bermoral dan terdidik.

Lalu?

Revitalisasi pengajian kitab kuning di pesantren adalah harga mati. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa kitab kuning adalah ruh pesantren. Seperti halnya tubuh manusia, apabila ruhnya tercabut, ia sudah tidak lagi dikatakan hidup. Sekalipun masih mampu berdiri, ia terkesan laa yahya wa laa yamut—tidak hidup, tak pula mati. Ini kemudian menjadi perhatian serius kiai-kiai sepuh yang memang lahir dan ditempa berpuluh tahun melalui proses tradisional pesantren. Karenanya, modernisasi pesantren tidak harus menghilangkan tradisi mengaji yang mengakar sejak lama. Faktanya, tubuh yang dicabut ruhnya akan mati dan pohon yang dicabut akarnya akan tumbang.

Mengaji dan mengkaji kitab kuning merupakan ikhtiar kaum santri dalam mempertahankan eksistensinya agar bisa berperan lebih dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Ia berkewajiban untuk mengawal moralitas umat dan bertanggung jawab pada keberlangsungan dakwah Islam di republik ini. Karena apa pun alasannya, Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kaum santri. Sementara itu, kaum santri tak mungkin terpisah dari pesantren. Lalu, pesantren tak akan hidup tanpa mengaji. Jika tradisi mengaji dan mengkaji di pesantren dikurangi bahkan dihilangkan porsinya, lantas bagaimana moralitas umat dan bangsa ini di masa depan? Pertanyaan yang agak normatif, namun demikianlah faktanya dan harus sesegera mungkin terjawab.

Akhirnya, kami mengundang para calon santri untuk bersama mengaji dan mengkaji kitab kuning di Pesantren Al-Idhhar. Melalui program Pascapesantren yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir ini, Pesantren Al-Idhhar merasa memiliki tanggung jawab untuk ikut merespon persoalan umat dengan membangun budaya intelektualitas santri yang berilmu, berakhlak dan berperan sebagai problem solver. Tentu, dengan mempertahankan dan memperkuat kembali tradisi mengaji dan mengkaji kitab kuning sebagai representasi dari kehendak Alquran dan hadis. Allaahumma Shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalii wa shahbihii ajma’iin.[]

Leave a comment