YANG TERZALIMI

YANG TERZALIMI
Kiki Musthafa

“Orang baik yang terlukai akan bersabar, sedangkan orang jahat yang tersakiti akan mengejar…”

DI ANTARA amalan ibadah terbaik menurut Rasulullah Saw. adalah membahagiakan hati orang mukmin—dalam salah satu hadis dikatakan dengan idkhaalu as-suruuri ‘ala qalbi al-mu`miniina. Dengan kata lain, yakni membahagiakan hati sesama saudara muslim, bisa jadi yang sedang baik-baik saja atau—terlebih lagi—yang sedang terzalimi. Untuk yang pertama, amatlah biasa, nyaris tak ada tantangannya, sekalipun sama baiknya. Nah, untuk yang kedua, jelas berbeda dan kemungkinan akan bernilai lebih karena yang dibahagiakan adalah seseorang yang sedang tersakiti, baik batin atau raganya. Tulisan ini, mari kita fokuskan untuk mengulas yang kedua.

Orang baik yang terzalimi tidak pernah berharap banyak kecuali Allah memudahkan dan menyelesaikan apa saja yang menderanya. Ia tidak menyimpan dendam—yang lahir dari kebencian, dikombinasikan dengan keinginan membalas, melahirkan sebuah tindakan tidak terpuji—tidak pula memendam harapan agar yang menzaliminya tercelakai. Ia terhenti pada satu keyakinan bahwa sesakit apa pun yang ia rasa dari perbuatan orang lain adalah, pertama, cara Allah menguji kesabarannya, kedua, cara Allah mengingatkan hal-hal tertentu darinya. Cukup sampai pada kesimpulan demikian, kecuali menyoal harga diri, hubungannya dengan hifdhu al-‘irdli, yang dalam maqashid as-syar’iyyah harus dipertahankan—menyoal ini butuh lembar lain yang lebih relevan karena terikat pada ketentuan-ketentuan lainnya. Di tulisan ini kita bicara hal yang biasa-biasa saja.

Telah tersampaikan di atas tadi, tentang orang baik yang terzalimi. Sebaliknya, lain hal dengan seseorang tak bisa mengontrol hawa nafsunya. Saat tersakiti, apa yang berada dalam kepalanya adalah api yang siap membakar. Saat terzalimi, apa yang terkurung dalam hatinya adalah bensin yang siap menyiram isi kepala agar membesar dan meledakkan anggota tubuh lainnya untuk melakukan tindakan. Boleh jadi dendamnya tuntas, tetapi pikiran dan hatinya tetap bergolak dan memanas. Tak ada Allah dalam pikiran dan perasaannya. Semua tentang dirinya adalah semua tentang amarah yang dipercikkan setan tanpa disadarinya. Dalam keadaan demikian, tujuannya hanya satu: Ingin sesiapa yang menyakitinya merasakan hal yang lebih dari apa yang dideritanya. Itu saja. Selebihnya, ia semakin terpuruk.

Untuk meringankan dua tipe orang di atas, melalui sebuah hadis, seolah Rasulullah Saw. memberikan jawabannya terkait afdlalu al-a’mal yang adalah membahagiakan hati orang-orang mukmin. Dalam hal ini, mukmin sabar yang terzalim akan merasa semakin terkuatkan, sedangkan mukmin emosian yang terzalimi akan tertahan amarahnya dan terbantu saat harus mengendalikan hawa nafsunya. Untuk konteks mukmin yang dizalimi, membahagiakan mereka yang tersakiti tentulah akan bernilai lebih. Pada tindakan paling sederhana, cukup dekati mereka, posisikan diri untuk berada di pihaknya, pahami masalah apa yang membelitnya, ingatkan lalu ringankan bebannya.

Dalam salah satu hadis lainnya, Rasulullah Saw. mengingatkan, Man a’aana madhluuman a’aanahu Allaahu yauma al-qiyaamati fi al-jawaazi ‘alaa as-shiraati wa adkhalaahu al-jannata—barang siapa menolong orang yang terzalimi, Allah akan menolongnya di hari kiamat saat menyebrangi shiraathal mustaqim dan memasukannya ke surga. Potongan awal dari hadis ini menjelaskan posisi seseorang yang kerap menolong saudaranya yang terzalimi, terselamatkan saat menyembangi shiraathal mustaqim, lalu masuk surganya Allah. Ini mengindikasikan bahwa pahalanya amatlah besar. Sebaliknya, potongan hadis berikutnya, Wa man raa`a madhluuman fa istaghaatsa bihii falam yughtsiihi, dluriba fi al-qabri bi miati sauthin min an-naari—dan barang siapa mendapati yang sedang terzalimi yang kemudian meminta pertolongan, tetapi tidak ditolong, Allah akan mencambuknya di alam kubur dengan 100 cambukan dari api neraka.

Ya, di antara amalan ibadah terbaik menurut Rasulullah Saw. adalah membahagiakan hati orang mukmin—idkhaalu as-suruuri ‘ala qalbi al-mu`miniina. Salah satunya, dengan membahagiakan dan meringankan beban mereka yang sedang terzalimi. Setidaknya, untuk menguatkan bahwa terzalimi adalah cara terbaik Allah untuk memberinya kebahagiaan, untuk pula menahan amarah dan mengendalikan hawa nasfsunya di saat bersamaan. Di antara dua tipe orang terzalimi di atas, amat memungkinkan bahwa kita adalah salah satunya. Mari bahagiakan diri sendiri dengan tetap tegar dan bahagiakan orang lain untuk selalu bersabar. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

 

Leave a comment