BEBAN

Kiki Musthafa

APA yang kita lakukan akan menjadi beban. Tentu, tak elok terburu-buru memaknai beban sebagai sesuatu hal yang tidak baik dan tidak mengenakkan saja. Mari kita lihat beban dari dua sudut pandang yang berbeda, baik dan buruknya. Memang, dalam bahasa Indonesia, kata beban merujuk pada sesuatu hal yang berat—dalam hal ini sukar—yang harus dilakukan atau ditanggung. Ia merujuk pada kewajiban, tanggung jawab dan lainnya yang dihubungkan pada urusan tertentu. Namun, tak apa, ya, di tulisan ini kita artikan beban dengan pemaknaan yang lain, beban yang baik juga beban yang buruk. Dua hal ini, penentu baik dan buruknya kita tersebab imbas baik dan buruk pula dari apa yang kita lakukan.
Pertama, beban yang baik. Siapa pun memiliki beban yang terpikul di pundaknya yang harus diselesaikannya. Bisa jadi menyoal pekerjaan, tugas harian, kepatutan bersikap dan berucap, keharusan berinteraksi yang baik dengan sesama, juga banyak hal. Dalam Islam, terkait ibadah, orang yang dikenai beban untuk melakukan menjalankan amr dan nahyi—perintah dan larangan agama—diseebut disebut mukallaf. Ia diwajibkan untuk melaksanakan hal-hal baik agar bisa menjadi baik bagi dirinya juga baik bagi orang lain yang mengikuti apa yang sedang dan telah dilakukannya—yang pada akhirnya akan kembali pula pada kebaikannya sendiri.
Dalam sebuah hadis dijelaskan: Man sanna sunnatan hasanatan—barang siapa yang melakukan hal baik, falahu ajruhaa wa ajru man ‘amila bihaa—baginya pahalanya sendiri dan pahala orang lain yang melakukan hal yang sama dengannya. Pada bagian awal dari hadis ini, terjelaskan bahwa apabila seseorang melakukan kebaikan, ia akan mendapatkan kebaikan dari apa yang sudah diperbuatnya, juga kebaikan dari orang lain yang mengikuti kebaikan-nya. Jika ada 1000 orang, semisal, mengikuti hal yang baik yang kita lakukan, pahala kebaikan dari 1000 orang tersebut akan mengalir pula kepada kita. Dalam hal ini, melakukan kebaikan adalah beban yang baik.
Selanjutnya, kedua, beban yang buruk. Ini merujuk pada hal buruk apa saja yang harus ditinggalkan. Tidak berhak berbuat suatu keburukan, sekalipun diniatkan untuk melakukan kebaikan—jika ingin tetap baik di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Ini beban yang buruk yang disaat bersamaan akan menjadi lebih buruk lagi apabila ternyata menginspirasi orang lain untuk melakukan keburukan yang sama. Dalam lanjutan hadis di atas terjelaskan pula: Wa man sanna sunnatan sayyi`atan, fa’alihii wizruha wa wizru man ‘amila bihaa—dan barang siapa yang melakukan keburukan, baginya keburukannya (dosa) dan keburukan orang-orang yang mengikuti hal buruk yang dilakukannya. Benar-benar beban yang buruk.
Hadis di atas, merujuk pada mereka yang mempunyai pengikut—wa huwa muqtadi bihii fii haadzihii as-sunnati—seperti kiai, guru, publik pigur, pejabat, tokoh terkemuka dan lain sebagainya. Memang demikian adanya, tetapi besar kemungkinan pula merujuk pada semua orang. Hal ini, disandarkan pada kemungkinan—dalam kehidupan sosial-bermasyarakat—setiap orang memiliki potensi untuk memiliki pengikut dalam konteks memengaruhi, memotivasi dan menginspirasi sesamanya dalam hal apa pun. Jika itu merujuk pada hal baik, baiklah ia dan orang yang mengikutinya. Jika buruk, sebaliknya, buruklah ia dan orang yang mengikutinya pula. Kita benar-benar terbebani.
Baiklah, apa pun itu, segala hal yang kita lakukan akan menjadi beban. Baik itu beban bagi diri sendiri juga beban bagi orang lain. Baik dan buruknya beban tersebut, tergantung pada baik dan buruknya sesuatu hal yang sedang dan telah kita perbuat. Salat yang baik, sedekah yang tulus, gotong royong yang ikhlas, bantuan yang tak berpamrih, dan sebagainya yang kita lakukan yang memotivasi juga menginspirasi orang lain melakukan hal yang sama, pahalanya bisa double: satu dari amalan baik kita, selebihnya dari orang lain yang mengikuti—demikian sebaliknya. Pada akhirnya, semoga Allah Saw. memberi kita kekuatan dan mari bebani hari-hari kita dengan tak henti berinvestasi kebaikan. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

Leave a comment