MULUDAN

Kiki Musthafa

BULAN ini identik dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Terlihat semarak, di setiap masjid-masjid diadakan acara Maulid Nabi. Ada yang melanggamkan Barjanzi bersama-sama. Menguraikan kisah perjalanan dan perjuangan Rasulullah Saw. yang tertulis sebagai untaian syair dalam sebentuk nadham-an. Diselai dengan shalawat. Dibacakan secara bergantian. Saling menyahut dan mengekspresikan kecintaan yang amat sangat kepada Rasulullah Saw. Tradisi yang khas dan memuat banyak nilai yang bisa diamalkan dalam keseharian—tentang perjuangan dan semua hal yang dicontohkan Rasulullah Saw.

Di saat yang sama, acara Maulid Nabi pun kerap diramaikan dengan menghadirkan para mubalig. Di masjid-masjid kecil, cukup digelar di dalam, khusyu’ dan penuh penghayatan. Di masjid-masjid jami’, jika jamaahnya tertampung acara tetap di dalam dan  jika tidak terpaksa di luar dengan panggung acara yang lebih besar. Bisa jadi di lapangan luas yang bisa menampung banyak orang sehingga semua bisa sama-sama ikut menyimak tausiyah tentang Rasulullah Saw. Bisa pula di gedung dan sarana olahraga yang mampu menampung jamaah lebih dari ribuan. Semarak dan menggetarkan.

Perayaan Maulid Nabi pertama dilakukan oleh Sultan Mudhaffar—nama lengkapnya Mudhaffaruddin al-Kaukabri—pada awal abad ke-7 Hijriyah. Ia adalah seorang raja dari Ibril, wilayah Irak pada saat ini. Dalam kitab Tarikh-nya Ibnu Kastir dijelaskan bahwa Sultan Mudhaffar mengadakan perayaan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal. Dijelaskan lebih lanjut di sana, ia merayakannya dengan amat mewah dan digelar secara besar-besaran. Dalam hal ini, Sultan Mudhaffar ingin menunjukkan ekspresi kecintaan dengan Maulid Nabi yang dikemas dalam sebuah acara agung kerajaan.

Di acara Maulid Nabi tersebut, seluruh rakyat diundang. Demikian pula dengan semua ulama dari berbagai disiplin ilmu. Baik ulama ilmu Fiqh, ulama Hadits, ulama ilmu Kalam, Ushul, juga ahli tasawuf dan lainnya. Persiapan dilakukan selama tiga hari sebelum perayaan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk dijadikan hidangan. Pada saat itu, semua ulama membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan Sultan Mudhaffar. Tak ada yang keberatan dan menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi untuk kali pertama sebagai sesuatu hal yang baik.

Bahkan seorang ulama saleh pada saat itu, al-Hafidh Ibn Dihyah menulis kitab tentang Maulid Nabi yang diberi judul Al-Tanwir fi Maulid al-Basyir an-Nadhir—lalu dihadiahkan kepada Sultan Mudhaffar. Artinya, ulama-ulama merestui apa yang dilakukan Sultan Mudhaffar sebagai orang pertama yang menggelar acara Maulid Nabi. Meskipun dalam beberapa literatur lain dijelaskan ada pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama merayakan Maulid Nabi adalah Salahuddin al-Ayyubi saat menaklukkan Mesir. Namun, yang terpenting bukan siapa yang memulai, tetapi siapa yang melanjutkan dan memaknainya.

Jika dirunut dari kisah di atas, acara Maulid Nabi memiliki sejarah yang amat panjang. Seluruhnya disandarkan pada kecintaan kepada Rasulullah Saw., bukan pada uforia dan perayaan yang bersifat hura-hura dan sia-sia. Ada panggilan hati dan jiwa yang menggerakkan semua orang untuk merayakannya—bisa jadi rindu bisa jadi cinta kepada Rasulullah Saw. Sejak saat itu, peringatan Maulid Nabi menjadi tradisi tahunan dan diperingati secara rutin oleh umat muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, termasuk di tanah Sunda yang kemudian dikenal dengan istilah Muludan.

Ya, tetapi bagi siapa pun yang mengerti hakikat Muludan, peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw. ini bukan hanya sebatas tradisi. Bukan pula tentang adu gengsi dengan saling berlomba untuk menggelar acara yang lebih mewah, megah dan penuh gema. Benar bahwa Sultan Mudhaffar melakukannya dahulu dengan cara demikian, tetapi jauh lebih benar adalah bahwa Sultan Mudhaffar melakukannya atas nama ekspresi kecintaan yang tak terbendung. Artinya, Muludan dibuat mewah, boleh—bahkan harus. Akan tetapi, murni karena cinta dan ingin mengajak banyak orang untuk mengingat kembali ajaran-ajaran Rasulullah Saw., bukan karena hal lain. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajmai’iin.[]

 

 

Leave a comment