DICINTAI

 

Kiki Musthafa

 

JIKA sejanak saja berkenan mengakui tentang perihal apa yang kita perjuangkan selama ini, bisa jadi keinginan dicintai adalah salah satunya. Tentu dicintai yang dimaksudkan pada tulisan ini bersifat umum dan tidak terikat pada satu hal—dikarenakan tak lepas dari kemungkinan bahwa setiap kita memiliki cara pandang, sikap dan penerimaan yang tak sama tentang cinta itu sendiri. Bisa jadi uang, pekerjaan, pengakuan, tepuk tangan, pepujian, penghargaan dan hal lain yang bersifat apresiatif. Semuanya tak menjadi soal, tetapi ketika melahirkan hal buruk dan menyingkirkan kebaikan lainnya, barulah ia bermasalah.

Semisal, pekerja kuli bangunan, rela banjir berkeringat agar dicintai oleh keluarga. Diakui bahwa ia sudah melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya. Pengayuh becak, sama, ia berani menembus hujan juga terik matahari untuk terus mencari rezeki, agar dicintai orang-orang yang dicintainya. Pedagang di pasar, di trotoar jalan, di swalayan, di mal, sama, semua memiliki motivasi yang sama, ingin berbuat sesuatu untuk dicintai orang-orang terdekatnya. Semacam pembuktian bahwa ia mencintai dan layak dicintai. Tak apa, semua pekerjaan tersebut amatlah mulia. Namun, jika kemudian dijalani dengan cara dan tujuan yang tidak baik, bermasalah-lah ia.

Contoh lainnya, para caleg dan pasangan capres-cawapres yang saat ini sedang amat sibuk memasarkan senyum di baliho-baliho, sama, mereka ingin dicintai. Upayanya meyakinkan publik adalah caranya menunjukkan cinta bahwa merekalah yang paling mencintai dan mampu berbuat hal terbaik. Ya, termasuk tokoh publik yang sedang diamanahi jabatan tertentu, apa pun yang dilakukannya, salah satunya, ingin dicintai masyarakat yang dipimpinnya. Semua—awalnya—karena cinta, selebihnya entah apa dan semoga tidak menjadi apa-apa. Nah, jika apa-apa ini adalah hal buruk yang membawa madarat bagi umat, itulah masalah.

Karenanya, keinginan dicintai yang disandarkan pada hal sementara yang bukan untuk Allah, kerap menuai masalah dan berdampak apa-apa. Faktanya, menitipkan alasan pada hal sementara adalah muara bagi—paling sederhana saja—beragam kekecewaan. Jika ingin dicintai karena uang, ia bisa kurang, bisa hilang, bisa tak sesuai harapan, lalu kecewa, lalu berbuat zalim. Jika ingin dicintai karena pekerjaan, pengakuan, tepuk tangan, pepujian, penghargaan, bisa didapat, bisa pula tidak, lalu kecewa, lalu berbuat nista. Ya, jika ingin dicintai karena jabatan, hati-hati kecewa dan kerap meruntuhkan di saat-saat tertentu.

Terhubung denga hal di atas, dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw., memberikan dua solusi agar kita dicintai, tanpa menelan rasa kecewa, tanpa berisiko madarat dan kesulitan lainnya. Dari Abul Abbas Sahl bin Sa’id as-Sa’idi Ra., berkata, “Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amal yang apabila aku melakukannya, niscaya aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia.’ Lalu Rasulullah bersabda, ‘Zuhud-lah terhadap apa yang ada di dunia maka Allah akan mencintaimu, dan zuhud-lah terhadap apa yang ada di tangan manusia maka manusia pun akan mencintaimu.’” (H.R. Ibnu Majah).

Dari hadis di atas, tampaklah dua hal yang akan membuat kita dicintai—menyoal semua yang selama ini kita perjuangkan. Pertama, zuhud terhadap urusan dunia. Ya, meyakini sepenuhnya bahwa perihal duniawi adalah titipan, ia hanya lewat, berganti, lalu hilang. Ia bukan sesuatu yang harus diperjuangkan mati-matian untuk urusan dunia itu sendiri, tetapi sebagai bekal untuk beribadah kepada Allah. Karenanya, mencari rezeki harus diniati untuk beribadah karena Allah, jangan disertai sikap zalim. Harus saling membantu dan bermanfaat, jangan saling sikat, rakus dan saling jilat. Niscaya, kita akan dicintai Allah—izhad fii ad-dunyaa yuhibbuka Allaahu.

Kedua, zuhud perihal apa yang ada di tangan manusia. Kerja dengan cara yang baik, saling meringankan, bukan saling merampas. Berjualan dengan cara yang baik, saling mempromosikan, bukan saling menjatuhkan. Nyaleg? Nyapres? Ya, bersaing dengan cara yang baik, bukan saling umbar fitnah dan cacian. Semua yang dititipkan Allah pada genggaman manusia, hakikatnya adalah bekal yang Allah berikan untuk menuntaskan semua kewajiban ibadah kita. Jangan saling rebut, jangan saling sikut. Niscaya, kita pun akan dicintai sesama—wa izhad fiimaa ‘inda an-naasi yuhibbuka Allaahu. Demikianlah, mencintai karena Allah, dicintai untuk Allah. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

Masjid Agung Kota Tasik (09/11/2018)

Leave a comment