MEMINTA

 

Kiki Musthafa

 

 

SESIAPA hendak meminta sesuatu hal kepada seseorang, haruslah ia berbuat baik terlebih dahulu. Ya, paling tidak tampak terlihat baik, berpura-pura baik, agar permintaan kita dikabulkan atau diupayakan, meskipun ini bukanlah cara yang baik—jangan dilakukan. Artinya, jangan sampai permintaan yang kita ajukan justru tampak berbarengan dengan adanya hal-hal yang tidak mengenakkan—dalam diri kita—yang membuat calon pemberi tidak berkenan, apalagi tersakiti. Jika demikian, amat kecil kemungkinannya, permintaan apa pun terberikan. Sekalipun, ya, permintaan tersebut terberikan, bisa jadi bukan benar-benar sebagai sebuah pemberian yang akan bermanfaat, tetapi justru akan menyulitkan dan menuai madarat.

Semisal, kita meminta bantuan pada seorang teman untuk sesuatu hal. Akan tetapi, di saat yang sama atau mungkin sebelumnya, kita pernah meninggalkan sikap dan ucap yang tidak baik baginya. Sebagai manusia yang berhati dan berakal, betapa tak tahu malunya kita meminta bantuan, sementara kita sedang dan pernah melakukan hal yang tak menggenakkan. Namun, biasanya, dalam keadaan terdesak, hal tersebut kerap terabaikan. Meskipun bukan hal yang baik, rasa malu itu kadang tidak berlaku bagi mereka yang sedang terdesak, apalagi teramat sangat terdesak. Pernah kita demikian? Hentikan, itu hal buruk yang tak layak terulangi. Lalu, pertanyaan sederhananya apakah permintaan kita akan dikabulkan? Tentu sulit, meskipun kemungkinan itu ada.

Pertama, terkabulkan. Terlepas dari pengecualian adanya orang-orang baik yang rela memberi meskipun disakiti, fakta terkabulkannya pemberian kepada mereka yang jahat adalah hal yang nyaris mustahil. Manusiawi, siapa hendak langsung memberi kepada mereka yang sedang dan pernah menyakiti? Mungkin mempertimbangkan hal tertentu terlebih dahulu, mungkin pada akhirnya benar-benar menolak. Sekalipun terkabulkan—dalam keadaan hati yang masih dongkol—pemberian tersebut amat pasti bernilai manni dan adza, sikap dan ucap yang menyakitkan bagi si penerima, si peminta. Mungkin pula, pemberian itu akan mengikat dan menjerat, sebagai utang yang harus dibayar dalam tenggat waktu dengan risiko tertentu. Akan menyulitkan.

Kedua, tertolak. Wajarlah demikian adanya. Tidak perlu kecewa untuk permintaan yang tertolak yang berangkat dari sikap minus kita sebelumnya. Dalam hal ini, kecakapan kita mengevaluasi diri, menjadi sedemikian penting. Sebaik apakah kita kepada orang lain, akan sebaik itu pulalah orang lain kepada kita. Jika tidak, mari bercermin lagi, jangan-jangan kita belum benar-benar baik. Demikian hal sebaliknya, buruknya sikap orang lain kepada kita adalah akumulasi dari buruknya sikap kita kepada mereka—disadari atau tidak. Persoalaanya, kepala kita selalu peka untuk mengingat kebaikan sejengkal yang sudah lakukan. Namun, menjadi pikun pada sebanyak mungkin keburukan yang sudah diperbuat. Alhasil, saat meminta bantuan pada orang lain, menjadi tak tahu diri, tak tahu malu.

Baiklah, asumsi di atas adalah tamsil paling sederhana. Pada keadaan tertentu, ternyata cara kita meminta kepada Allah pun selalu demikian. Tentu, dalam hal ini, Allah Maha Rahman dan Rahim. Sekalipun kita jahat, Allah tetap cinta. Sekalipun kita khianat, Allah tidak berpaling. Sepanjang waktu adalah kesempatan taubat yang Allah berikan. Namun, menyoal meminta—dalam hal ini doa—ada klausul yang mesti kita sepakati. Benar bahwa Allah akan mengabulkan semua doa, tetapi kita harus tahu diri. Masak doyan maksiat mintanya banyak? Logikanya, maksiat itu adalah melakukan hal yang dibenci oleh Allah. Lantas, di luar Maha Rahman dan Rahim Allah, masih pantas kita meminta? Kesepakatanya, taubat dulu, menyesal dulu, kembali dulu, baru meminta.

Dalam sebuah hadis shahih terkisahkan, seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh hingga rambutnya kusut dan kotor. Lalu, ia bersegara menengadahkan kedua tangan ke arah langit, seraya berdoa, “Ya Rabb, ya Rabb”,  sedangkan makanan yang dimakannya adalah barang haram, minuman yang diminumnya adalah barang haram, pakaian yang dipakainya adalah barang haram dan ia kenyang dengan barang haram. Karenanya, bagaimana mungkin permintaanya, doanya, dikabulkan? Bercermin pada apa yang terkisahkan di hadis tersebut, mari berbenah. Meminta kepada sesama, harus baik kepada sesama. Meminta kepada Allah, apalagi, haruslah bersih terlebih dahulu tubuh kita. Jauh dari barang syubhat apalagi haram. Jauh dari niyah (niat), kaifiyah (cara) dan ghayah (tujuan) yang tidak baik apalagi dijadikan bekal untuk maksiat. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

 

 

Leave a comment