KEBUTUHAN

 

Kiki Musthafa

 

SETIAP kita memiliki target pencapaian dalam hidup. Target itulah yang kemudian menjelma menjadi harapan. Sementara itu, disadari atau tidak, harapan itu pulalah yang menggerakkan langkah ikhtiar kita setiap harinya. Ada yang bermimpi menjadi ini dan itu, lalu berbuat ini dan itu pula. Ada yang bermimpi memiliki ini dan itu, ya, lalu melakukan ini dan itu pula. Terus merotasi setiap detiknya, bahkan menguasai hati dan pikiran yang kemudian teraktualisasi pada beragam tindakan. Semuanya tak menjadi persoalan apa pun, sampai pada keadaan, apakah itu berakibat baik atau sebaliknya. Ini masalahnya.

Sederhananya, ada dua hal yang melatarbelakangi lahirnya sebuah harapan. Pertama, dipantik oleh kebutuhan hidup. Semua sepakat bahwa hidup tak lepas dari harus adanya hal tertentu apabila semuanya ingin berlangsung mudah. Harus benar-benar ada, bahkan jika ada haruslah cukup dan tidak kurang sedikit pun. Itu yang kemudian dikenal dengan kebutuhan hidup. Bisa kebutuhan sandang, pangan dan papan. Ketiganya memengaruhi satu sama lain. Andai kurang satu saja, apalagi semuanya, masalah muncul. Tak jarang, ragam kejahatan dan kriminalitas, dimotivasi oleh tiga hal tersebut—yang diupayakan dengan niat dan cara yang jahat. Harapan yang awalnya baik, menjadi berakhir buruk.

Kedua, didorong oleh hawa nafsu. Kebutuhan hidup sudah tercukupi, tetapi selalu berhasrat lebih. Kebutuhan sandang, sudah sempurna, pakaian bagus dan layak dengan jumlah yang mencukupi. Kebutuhan pangan, apalagi, tak ada yang kurang sedikit pun, bahkan bisa jadi lebih. Ingin makan ini dan itu, ingin minum itu dan ini, semua termampukan. Artinya, amat tak mungkin kelaparan dan kehausan. Lalu, kebutuhan papan, jelas sudah ada. Rumah layak, bahkan bagus yang tak jarang menjadi kebanggaan dan standar kelas di lingkungan sosialnya. Namun, hawa nafsu bisa membuat semuanya berbeda. Harapan yang benar-benar akan menjadi buruk.

Pakaian yang layak dan cukup, menjadi tidak berarti karena ingin mencari yang lebih bermerk dan branded. Tak puas rasanya, jika hanya memakai yang biasa-biasa saja—padahal sudah amat layak dan tidak jelek. Lalu, makanan sudah mencukupi untuk tidak lapar dan haus, sayangnya, hawa nafsu membuat lupa bahwa hakikat untuk tidak lapar adalah agar kuat beribadah dan berbuat baik. Imbasnya, pencarian makanan tidak berhenti pada rasa kenyang, tetapi pada gaya hidup yang amat konsumtif—biasanya, dalam hal ini, halal dan haram tak lagi berjarak. Salah satu akibatnya, menjadi lupa berderma dan berbagi pada sesama dan… cenderung rakus. Selanjutnya, rumah yang sebenarnya sudah layak dan bagus, sayangnya, tersebab harapan dan mimpi yang buta, memaksanya harus memiliki tempat tinggal yang lebih megah dan berkelas.

Ketiga hal di atas, bisa bermasalah dan kerap melahirkan masalah baru. Ia lupa bahwa ada kebutuhan hidup yang lebih dari sebatas perkara materialistik, yakni kebutuhan batin. Benar, tercukupinya kebutuhan lahir adalah ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan batin. Akan tetapi, jika diniatkan dan dilakukan untuk hal sementara yang bersifat duniawi semata, justru yang akan didapat adalah ketersiksaan batin. Terpenuhinya—secara lahiriyah—kebutuhan hidup, baik sandang, pangan dan papan, taklah benar-benar terpenuhi jika kebutuhan batiniyah-nya tertahan. Faktanya, banyak yang diperbudak harta, perut dan kemegahan, hidupnya selalu susah, selalu dirundung gelisah.

Pada akhirnya, tak ada yang salah dengan memiliki harapan dan berikhtiar untuk mencukupi kebutuhan hidup. Harapan itulah yang kemudian akan menggerakkan langkah kita untuk berikhtiar setiap harinya. Kita berhak bermimpi menjadi ini dan itu, lalu berbuat ini dan itu pula. Berhak pula bermimpi memiliki ini dan itu, ya, lalu melakukan ini dan itu pula. Harapan yang terus merotasi di setiap detik dan memotivasi setiap upaya yang dilangsungkan. Syaratnya, niatkan dan lakukan seluruhnya untuk bekal beribadah kepada Allah, niat baik, cara baik. Niscaya, jika demikian adanya, kebutuhan lahiriyah akan bersenyawa dengan kebutuhan batiniyah. Semua akan tercukupi karena di saat bersamaan selalu tersyukuri. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[]

 

 

 

Leave a comment