ULAMA
Ulama
TIDAK ada tendensi politik dalam catatan sederhana ini. Meskipun, ya, dilatarbelakangi oleh kegaduhan saling klaim ulama dalam terminologi masing-masing—sialnya hal itu dipantik oleh kepentingan politik. Wajar, dalam diskursus politik tidak ada yang tidak wajar. Semua dibuat wajar. Dingin bisa menjadi panas. Panas bisa menjadi dingin. Tersebab politik, orang waras sekalipun bisa dibuat panas dingin. Termasuk kita.
Dalam Alquran, kata ulama disebut dua kali. Pertama, menyoal ajakan untuk fokus memerhatikan ayat-ayat kauniyyah. Ayat ini diakhiri dengan, “Innamaa yakhsyallaahu min ‘ibaadihil-‘ulamaa`—sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Q.S. Fathir: 28). Kedua, menyoal pengakuan ulama Bani Israil terhadap kebenaran kandungan Alquran, “Awalam yakun lahu aayatan an ya’lamahuu ‘ulamaauu` banii israa`iila.” (Q.S. Syu’ara: 197).
Terlepas dari ragam tafsir yang mengemuka dalam literatur-literatur klasik, semestinya cara Alquran mencatat kata ulama dalam dua konteks ayat di atas, mengingatkan kita akan dua hal pula. Pertama, ulama haruslah memiliki kompetensi yang cukup dalam memahami problem sosial—interpretasi dari ayat kauniyyah—yang berkembang di masyarakat. Menyejukkan dan menjadi problem solver.
Selanjutnya, kedua, menjadi penyampai tentang kebenaran Alquran yang ayat-ayatnya merupakan formulasi hukum yang diikat oleh wahyu. Kebenarannya absolut dan tidak tergugat. Dalam hal ini, tafsir ulama terhadap Alquran, tidak terbeli oleh kepentingan apa pun di luar dakwah Alquran itu sendiri. Karenanya, di samping harus cakap secara pengetahuan, moralitasnya pun haruslah keren. Jika saat ini, di akar rumput umat yang awam sibuk saling hasut, semestinya ulama meredam, bukan lantas ikut menyulut.
Karenanya, “al-ladzii ‘amila bi ‘ilmihii” bukan hanya tentang kapasitas keilmuannya saja, tetapi lebih dari itu menyoal moral dan perilakunya. Ya, tersebab ada yang lebih penting dari menjadi pintar, yaitu menjadi bijak. Namun, untuk menjadi bijak, haruslah pintar terlebih dahulu. Dari semuanya, pintar mengontrol hawa nafsu adalah “maqam” tertinggi dari kriteria ulama yang diperebutkan saat ini. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.[Kiki Musthafa]
Leave a comment
You must be logged in to post a comment.