TAHUN BARU, TAHUN HIJRAH

Masjid Agung Kota Tasik (14/09/2018)

TAHUN BARU, TAHUN HIJRAH
Kiki Musthafa

Ini tahun baru hijriyah. Awal tahun yang semoga menjadi langkah baru untuk membangun kedirian dan karakter umat terbaik—khairu ummah. Ya, meskipun semaraknya tak segemerlap perayaan tahun baru miladiyah (masehi), tetap saja tahun baru hijriyah tak bisa dilepaskan dari heroisme kaum muslimin pada 14 abad lalu saat berhijrah dari Makkah ke Madinah. Ada keputusan besar yang diambil kaum muslimin pada saat itu yang melahirkan perubahan besar pula. Muhajirin dari Makkah bersatu dengan Anshar di Madinah dan membentuk kehidupan yang harmoni—lalu menjadi kekuatan baru untuk kembali mendakwahkan Islam ke seantero jazirah Arab. Peristiwa hijrah itulah yang menjadi awal dari hitungan kalender Islam yang dinamakan hijriyah—dari kata hijrah.

Salah satu ayat Alquran yang memiliki korelasi dengan peristiwa hijrah adalah ayat: “Ya ayyuhalladziina aamanuu inna ardlii waasi’atun faiyyaaya fa’buduun—wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya bumi-Ku amatlah luas maka beribadahlah kalian.” Dalam beberapa keterangan, ayat ini ditafsirkan beragam oleh para ulama, namun merujuk pada satu kesimpulan yang sama: Faiyyaaya fa’buduun—perintah agar (tetap) beribah. Dimulai dengan asbab an-nuzul—penyebab turunnya—ayat ini merujuk pada kondisi kritis di kota Makkah. Saat itu, kaum muslimin dalam keadaan lemah yang amat sangat—fii dlu’aafa`i muslimaiy makkata. Mereka mengalami intimidasi dan tekanan kuat dari kafir Quraisy.

Keadaan yang begitu genting dan merujuk pada ketakmungkinan kaum muslimin untuk bertahan di Makkah itulah, kemudian menjadi alasan turunnya perintah hijrah. Kala itu, perintah untuk hijrah digambarkan dengan: ‘In kuntum fii dlaiqin bi-makkata min idhhaaril-iimaani fakhrujuu minhaa ilaa ardlil-madiinati—apabila di Makkah membuat kalian berada dalam keadaan yang sempit untuk mengekspresikan keimanan, keluarlah dan berpindahlah ke Madinah. Kemudian terkait dengan “Inna ardli waasi’atun—sesungguhnya bumi-Ku amatlah luas” pada ayat di paragraf kedua, seorang ulama terdahulu bernama Mujahid mengatakan bahwa kalimat tersebut merujuk pada `amr (perintah) berikutnya: “Fakhrujuu fiihaa—keluarlah kalian dari sana.”

Dengan demikian, peristiwa hijrah bermula saat kondisi kaum muslimin tak memungkinkan bertahan di Makkah. Lalu, untuk sesuatu yang lebih baik mereka diperintahkan untuk berhijrah. Akan tetapi, terlepas dari peristiwa bersejarah itu, Sa’id bin Jubair mengatakan hal yang berbeda. Menurutnya, di samping menyoal hijrah dari Makkah ke Madinah, ada keadaan lain yang menuntut pula dikenai perintah “berhijrah” tersebab persoalan lainnya dalam konteks yang lain pula. Ia menafsirkannya dengan: “Idzaa ‘amila fii ardlin bil-ma’aashii fakhrujuu fainna ardlii waasi’atun—jika banyak kemaksiatan dilakukan di bumi, wilayah tertentu, keluarlah dari wilayah tersebut, sesungguhnya bumi-Ku amatlah luas.”

Pendapat terakhir di atas lebih dekat dengan persoalan umat akhir-akhir ini, menyoal kemaksiatan dan problem moralitas lainnya. Dalam konteks kekinian, perintah “fakhrujuu” dan “fahaajiruu” bukan hanya menyoal “keluarlah-pergilah” dan “berpindahlah”, tetapi seperti dikatakan ‘Atha, “fakhrujuu” pun disebutkan dengan “fahrabuu”—perangilah. Artinya, kemaksikatan dan ragam perilaku yang menyimpang dari aturan Syara’ tidak boleh dibiarkan dan ditinggalkan, tetapi justru harus dihadapi dan menjadi medan dakwah bagi sesiapa yang ingin berjuang di jalan Allah. Dimulai dengan memerangi diri sendiri untuk tidak melakukan maksiat dan mengingatkan orang lain agar jangan pula melakukannya.

Akhirnya, dua hal yang bisa terambil dari peristiwa hijrah dan korelasinya dengan ayat terkait “hijrah lithaa’atillah” di atas—dalam konteks kedirian dan pembentukan karakter umat hari ini. Pertama, jika berada dalam keadaan sulit untuk mengekspresikan keimanan dan keislaman, hijrahkan diri dari buruk menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik. Kedua, jika berada dalam lingkungan yang memungkinkan melakukan maksiat dan jauh dari nilai-nilai ketaatan, perangi diri yang malas agar menjadi ikhlas, yang dekat dengan maksiat agar lekas tobat, yang selalu terasa berat menjadi lebih ringan karena taat. Jika ada kesimpulan lainnya, silakan, intinya harus tetap sama: Faiyyaaya fa’buduun. Ini tahun baru hijriyah, mari hijrah! Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihii ajma’iin.[]

Leave a comment