KURBAN

Masjid Agung Kota Tasik (24/08/2018)

KURBAN
Kiki Musthafa

MARI kita mulai catatan sederhana ini dengan hadis Rasulullah Saw—seperti ditulis as-Syaakir al-Khauburiy dalam Dzurratu an-Naashihiin—menyoal keistimewaan berkurban, “Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk membeli hewan kurban, dalam setiap langkahnya terdapat sepuluh kebaikan, akan dihapus pula baginya sepuluh keburukan, dan diangkatlah ia dengan sepuluh derajat—kebaikan. Ketika ia berbicara saat membeli hewan kurban, semua perkataannya serupa bertasbih. Ketika membayar, baginya pada setiap dirham yang dibayarkan adalah tujuh ratus kebaikan. Ketika menempatkan hewan kurban di tanah untuk disembelih, semua makhluk di tempatnya berada hingga lapisan ketujuh dari bumi (tanah) memintakan ampun baginya. Ketika darah hewan kurban mengalir, dalam setiap tetesannya, Allah Swt mencipatakan sepuluh malaikat yang akan memintakan ampunan baginya hingga hari kiamat. Ketika dagingnya dipotong, setiap potongan serupa membebaskan budak dari anak-anak Nabiyullah Ismail As.”

Dalam konteks fadlilatul-a’mal, hadis di atas menjelaskan dengan sangat detail perihal keistimewaan tak terhingga untuk mereka yang berkurban. Di sisi lainnya, keistimewaan tersebut, merupakan indikator bahwa berkurban bukanlah sesederhana menyembelih hewan kurban, tetapi lebih dari itu. Karenanya, setelahnya, pemaknaan menyembelih akan menjadi lebih kompleks lagi. Setidaknya, seperti ritual ibadah lainnya, setelah dilaksanakan sesuai aturan dan ketentuan yang digariskan secara fiqh, haruslah memiliki daya ubah yang baik secara personal dan daya sentuh yang nyata di lingkungan sosial kita. Hal sedemikian itu, tampak relevan dengan hadis Rasulullah Saw lainnya, “Khiyaaru ummatii yadlhuuna, wa syiraru ummatii laa yadlhuuna—sebaik-baiknya umatku adalah mereka yang berkurban dan seburuk-buruknya adalah yang tidak berkurban.”

Jika merujuk pada dua hadis di atas—tentang fadlilah berkurban dan garansi Rasul untuk mereka yang berkurban—agaknya logis jika kemudian Imam as-Syafi’i menyatakan bahwa berkurban hukumnya sunnah mu`akkad dan itu hanya berlaku bagi mereka yang mampu. Namun, bukan berarti ketikdakmampuan untuk berkurban tidak lantas menghilangkan keharusan untuk berusaha. Paling tidak, ada proses yang berlangsung di setiap tahunnya, agar mampu berkurban di tahun berikutnya. Karenanya, hukum berkurban ini adalah sunnah yang memiliki penekanan khusus, nyaris mendekati wajib. Artinya, benar-benar sunnah bukan, benar-benar wajib juga tidak, tetapi sunnah yang harus diupayakan.

Akan tetapi, terlepas dari semua yang terpaparkan di atas, intisari dari berkurbanlah yang sejatinya harus terpahami kemudian. Setidaknya, ada dua hal paling mendasar setelah ritual berkurban dilakukan. Pertama, menumbuhkan kesadaran tentang makna sabar—yang menjadi pintu semua bentuk kebahagiaan. Ini tak lepas dari sejarah menyembelih hewan kurban yang dilekatkan dengan ketegaran Nabiyullah Ibrahim As. Perintah Allah Swt untuk menyembelih anak semata wayangnya, Nabiyullah Ismail As, dilaksanakan dengan ketegaran tanpa banding. Tegar yang berangkat dari bersabar dalam ketaatan itulah yang kemudian secara dramatis dibalas Allah Swt dengan kebahagiaan: Hewan kurban-lah yang menggantikan posisi putra tercintanya di detik-detik terakhir sebelum disembelih. Dalam konteks inilah, shabrun ala-ththaa’at—bersabar dalam ketaatan—akan menjadi pintu untuk semua bentuk pertolongan Allah, dalam hal apa pun.

Kedua, untuk menanam rasa dan sikap peduli terhadap sesama. Dalam hadis lain dijelaskan, “Wa man lam yahtamma bi-amril-muslimina falaisa minnaa—barang siapa yang tidak memedulikan kepentingan kaum muslim, bukanlah bagian dari (umat) kami.” Pada skala yang lebih kecil, memedulikan kepentingan kaum muslimim, merujuk pula pada kebersediaan kita menyisihkan harta untuk membeli dan menyembelih hewan kurban. Ada keinginan berbagi, membantu dan tentunya membahagiakan saudara kita—meskipun hanya dengan sekantong kecil daging yang kita bagikan. Di sanalah, disadari atau tidak, esensi berbagi telah diajarkan melalui berkurban—karenanya ia berhukumkan sunnah yang ditekankan. Semoga setiap tahunnya kita diberikan kesempatan mendapatkan rezeki halal agar selalu bisa berkurban, untuk lebih bersabar, untuk lebih peduli, untuk menyembelih semua keburukan-keburukan kita. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihi ajma’iin.[]

Leave a comment