MENJADI FAKIR

 

Kiki Musthafa

 

KITA seluruhnya fakir dan selalu saja mengeluh. Tanya dan perhatikan saja mereka yang saldo ATM dan asetnya meruah. Jika dalam satu hari saja mereka tidak mengeluhkan apa yang dimilikinya atau paling tidak apa yang berhubungan dengan itu, sudah dipastikan ada yang salah dengan kondisi psikisnya. Mengeluh sangatlah manusiawi dan bukti bahwa kita sedang hidup dan merasa kurang lalu kembali “mencari”. Ini bukti betapa fakirnya kita karena selalu membutuhkan apa saja—yang seringnya justru terkait banyak hal yang tidak pernah benar-benar kita butuhkan.

Fakta bahwa kita fakir dan rajin mengeluh adalah muasal dari semua petaka yang akan terjadi. Mari bercermin dari apa yang disampaikan Rasulullah Saw., dalam salah satu hadisnya tentang sebuah “petaka yang niscaya”—pasti akan terhadapkan kelak untuk sesiapa kita. Dalam hadis yang dimulai dengan inna amamakum ‘uqbah—sesungguhnya kalian akan dihadapkan pada petaka (siksaan), menghadirkan pengecualian, yaitu mereka yang bisa melewati masyaqqah ‘adhimah—kesulitan yang teramat sangat. Konon, yang dimaksud dengan masyaqqah ‘adhimah ini adalah kefakiran yang tiada duanya yang karenanya merupakan sebuah kesulitan besar.

Tersebab itu, dalam lanjutan hadis tersebut, terhubunglah dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh Anas Ra., yang menceritakan tentang utusan orang fakir yang mengadukan keluhan si fakir yang mengutusnya. Dalam pengaduan tersebut berkatalah si utusan, “Wahai Rasulullah, si fakir berkata, ‘Orang-orang kaya bisa berbuat baik dan berhaji seluruhnya, sedangkan aku tidak mampu. Mereka bersedekah, sedangkan aku tidak mampu. Mereka membebaskan budak, sedangkan aku tidak mampu. Ketika sakit pun mereka masih bisa mengirimkan kelebihan harta simpanannya, sedangkan aku tidak mampu.’”

Mendengar keluhan si fakir yang disampaikan si utusan, Rasulullah Saw., menjawab, “Sampaikan pada si fakir, sesungguhnya sesiapa yang bersabar tersebab fakir karena Allah, baginya berhak atas tiga hal yang tidak mungkin didapatkan si kaya. Pertama, di surga kelak ia akan menempati satu ruang yang dari ruangan tersebut bisa melihat seluruh penghuni surga—layaknya melihat bintang di laingit dari arah bumi. Tidak ada yang berhak masuk ke ruangan itu kecuali para nabi, orang yang syahid dan mukmin yang fakir (yang bersabar karena kefakirannya).

Kedua, orang fakir yang sabar akan masuk surganya Allah sebelum orang kaya yang bersyukur, berjarak 5000 tahun. Nabi Sulaiman bin Daud As., pun masuk surga setelah para nabi dan berjarak 40 tahun disebabkan kerajaan yang diberikan Allah kepadanya. Ketiga, ketika orang fakir yang sabar akan keakirannya berkata, ‘Subhanallah, wal-hamdulillah, wa la ilaha illallah, wallahu akbar’, orang fakir tersebut akan menemukan sesuatu hal yang tidak akan pernah ditemukan oleh orang kaya, sekalipun ia bersedekah 1000 dirham dan seluruhnya adalah amalan-amalan kebaikan.” Ketika si utusan pulang lalu menyampaikan apa yang dikatakan Rasulullah Saw., ia berkata, “Ya Rabb, aku rela dengan kefakiranku.”

Merujuk pada apa yang terkisahkan pada hadis di atas, masihkan layak kita mengeluh dengan kefakiran? Ada jaminan yang begitu jelas apabila bisa melewatkan masyaqqah ‘adhimah—kesulitan yang teramat sangat yang ternyata adalah kefakiran yang konon sangat dekat dengan kekufuran.  Syaratnya harus dilalui dengan sepenuh sabar dan menerima untuk menghindarkan diri dari keniscayaan inna amamakum ‘uqbah—segala petaka (siksaan) yang akan terhadapkan. Petaka itu, dalam konteks hari ini, besar kemungkinan tentang kesulitan ekonomi, pekerjaan halal, ketenangan ibadah dan waktu luang untuk berbahagia. Masihkah ada alasan untuk mengeluhkan kefakiran kita? Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

Leave a comment