BERBAIK SANGKA

 

Kiki Musthafa

 

BAHKAN dalam keadaan biasa-biasa saja kita terbiasa berburuk sangka kepada Allah. Mengira bahwa apa yang terjadi adalah sesuatu yang salah dan keliru, sesuatu yang agaknya taklah adil bagi kita. Bayangkan saja, sudah berpuluh-puluh tahun, semisal, kita bekerja tanpa henti sejak pagi hingga sore hari. Sejak sore hingga malam hari. Sejak malam hingga pagi harinya lagi. Akan tetapi, apa yang kita mimpikan tak juga menjadi kenyataan. Hari-hari tampak hambar dan perjalanan hidup serasa monoton.

Mari bayangkan lebih dekat lagi. Untuk kita yang berprofesi sebagai guru, pagi hari berangkat, siang hingga sore hari pulang. Untuk pekerja kantoran, karyawan swasta, buruh, pedagang, pebisnis, juga profesi lainnya, tetap saja berada pada ritme yang terus berputar sama dan cenderung menjenuhkan. Lalu, di saat-saat tertentu, tanpa merasa bersalah apa pun kita kerap bergumam, “Hidup selalu seperti ini dan tetap akan menjenuhkan.” Tak tersadari, gumaman sedemikian itulah petanda bahwa kita sedang menyayangkan kejenuhan yang muncul sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan.

Pangkal persoalannya berada pada dua kata terakhir di atas: Tidak mengenakkan. Saat dua kata tersebut mengendap di hati dan kepala kita, saat itu pulalah kita sedang berburuk sangka kepada Allah. Seakan-akan Allah begitu tidak menghargai kerja keras dan doa-doa kita, tahajud dan salat-salat kita, sedekah dan kedermawanan kita, kebaikan-kebaikan kita. Semua tidak mengenakkan. Semua tidak sesuai harapan. Kesimpulan dangkal ini kerap muncul bahkan di keadaan biasa-biasa saja. Tensi dan volumenya akan meninggi dan membesar jika dalam keadaan tertekan.

Padahal, jika saja gumaman kejenuhan itu bisa terlewatkan, paling tidak ditahan untuk tidak terucapkan, kemungkinan lain yang mengenakkan akan muncul dengan cara palng sejuk—cara yang tidak terbayangkan. Bisa saja, ritme yang cenderung stagnan, begitu-begitu saja itu, adalah cara terbaik Allah untuk menghindarkan kita dari keburukan—hal yang tidak mengenakkan. Toh, kenyataannya di sela aktivitas semenjenuhkan tersebut  selalu ada saat dimana kita menemukan kebahagiaan-kebahagiaan baru, kan? Meskipun hanya momentum sesaat yang datang dan pergi dengan cepat.

Hanya saja, bagi kita satu kebahagiaan yang lahir sepintas di tengah serba-serbi ketakmengenakan adalah hal kecil yang tidak penting. Layak terlupakan dan tidak begitu berarti untuk diberikan perhatian khusus. Seringnya, kita tidak mengira bahwa hal kecil itulah yang justru akan menyelamatkan kita dari kejenuhan. Ya, seringnya, kita abai pada hal kecil yang dipersiapkan Allah untuk mengukur sebersyukur apakah kita pada apa yang telah Allah berikan. Ujung-ujungnya, semua semakin tidak mengenakkan karena kita tidak pernah bersyukur—dengan melulu berburuk sangka pada ketetapan Allah.

Dalam perkara jenuh dan kejenuhan ini persoalannya sangatlah tipis. Seandainya saja, semua ritme yang berputar semenjenuhkan itu disikapi dengan sepenuh penerimaan tanpa keluh dan kecewa, kebahagiaan kecil yang menyelip di dalamnya akan berbalik menjadi pusat rotasi. Tentunya, perputaran waktu yang bergulir akan menjadi lebih membahagiakan seiring pergantian detik yang tidak terhentikan. Namun, jika perjalanan kejenuhan itu ditimpali dengan racauan yang memperdengarkan ketaksetujuan kita pada pemberian Allah, kejenuhan termaksud akan berlipat dalam ketakmengenakkan yang mengabadi. Serba sulit, tertekan dan berujung depresif.

Ya, bahkan dalam keadaan biasa-biasa saja kita terbiasa berburuk sangka kepada Allah. Mengira bahwa apa yang terjadi adalah sesuatu yang salah dan keliru, sesuatu yang agaknya taklah adil bagi kita. Hari-hari tampak hambar dan perjalanan hidup serasa monoton. Tak tersadari memang bahwa mengeluh pada keadaan demikian adalah ekspresi ketaksetujuan kita pada ketetapan Allah. Padahal, apa pun yang terjadi adalah bagian terbaik dari cara Allah mencintai kita. Pertanyaannya, kita selalu sepakat atau tidak? Mari berbaik sangka. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

 

Leave a comment