ALHAMDULILLAH

 

Kiki Musthafa

 

KITA selalu siap jika membicarakan kebahagiaan. Membincangkan laba dagangan yang terus meningkat. Karir yang membaik. Pekerjaan yang nyaman dan menjamin. Jabatan yang aman dan menguatkan. Namun, jarang sekali kita benar-benar siap membicarakan kesusahan dan keterpurukan; rugi yang besar, ditipu rekan dan nyaris bangkrut, karir yang jatuh, pekerjaan yang menyiksa dan tidak mengenakkan, pun jabatan yang meruntuhkan. Sekalipun ya dibicarakan, tak jauh dari keluhan demi keluhan yang kerap disisipi racauan dan buruk sangka.

Pendek kata, kita hanya siap berhadap-hadapan dengan yang baik-baik saja. Sementara saat dihadapkan pada yang tidak selaras dengan keinginan, kita memaling muka dan enggan. Padahal, apa yang perlu dibanggakan dari keadaan baik kita dan apa yang perlu disesalkan dari keadaan buruk kita? Keduanya sama-sama anugerah dalam bentuk yang berbeda. Hanya saja, ya, hanya saja, penilaian dangkal kita sajalah yang membuat perbedaan itu menjadi benar-benar beda. Lalu, melahirkan respon yang berbeda pula.

Apa yang layak dibanggakan dari keadaan baik-baik saja? Saat mendapatkan rezeki yang lebih dengan gagahnya kita umbar kepada orang lain. Seakan mengabarkan keberuntungan yang didapat hari ini adalah pencapaian yang sayang dilewatkan untuk tidak diagulkan kepada sesama kita—yang besar kemungkinan di saat yang sama sedang berada di keadaan terpuruk. Apa urgensinya, terlebih jika tersadari sepenuhnya bahwa kelebihan rezeki yang kita terima adalah titipan yang akan singgah sekali lewat saja.

Dalam konteks yang lebih luas, rezeki—yang merupakan hanya titipan—mencakup banyak hal yang tampak “baik-baik saja”. Dengan kata lain, semua yang terasa baik bagi kita seluruhnya adalah rezeki sekaligus adalah titipan. Uang yang banyak, karir yang cemerlang, pekerjaan yang menyenangkan, pun jabatan yang berkah, bukan milik kita seluruhnya, kan? Di balik semuanya terdapat perintah untuk membagi dan menjadikannya jalan untuk kebaikan orang lain.

Berat, kan? Karenanya, menunaikan perintah yang tersisipkan di semua yang Allah anugerahkanlah yang mesti harus dilakukan sebagai implementasi syukur yang senyatanya. Ini yang sejatinya harus ditempuh, bukan lantas sibuk membangga-banggakan yang konon akan mempermalukan kita semalu-malunya dan sehina-hinanya. Bayangkan, semamalukan dan sehina apakah seseorang yang membangga-banggakan sesuatu yang bukan miliknya? Terlebih mengklaim sesuatu yang hanya titipan saja? Semua milik Allah, kita hanya dititipi saja, kan?

Lalu, apa yang penting dari mengeluhkan semua hal buruk yang kita terima? Semisal, modal lenyap dibawa kabur, karir runtuh seketika, pekerjaan hilang, jabatan menjerumuskan, pun lainnya, lalu sibuk mencari kambing hitam. Ya, lalu kita dibuat repot membela diri dengan menyalahkan pihak lain yang berada dibalik keterpurukan kita. Kesuksesan kita ditentukan oleh upaya keras kita dan doa, demikian dengan keterpurukan kita adalah akumulasi dari kelalaian kita dan dosa. Lantas, apa urusannya dengan orang lain?

Kembali, semua karena bukan milik kita seutuhnya. Jika hilang, anggaplah bahwa Allah sudah mengambilnya kembali. Penyebabnya, bisa jadi kita tidak menunaikan perintah berbuat baik yang turun bersamaan dengan dianugerahkannya titipan termaksud, pun bisa pula karena kita menggunakannya untuk hal-hal buruk. Oleh karenanya, anugerah itu bisa saja rezeki karena kebaikan-kebaikan, bisa pula ‘uqbah—siksaan—karena keburukan-keburukan yang kita lakukan. Jika datang, gunakan untuk hal baik. Jika hilang, jadikan bahan evaluasi diri, “Jangan-jangan Allah marah?”

Baiklah, pada akhirnya memang demikian, kita selalu menjadi yang paling siap jika membicarakan kebahagiaan. Namun, jarang sekali untuk benar-benar siap membicarakan kesusahan dan keterpurukan. Sekalipun ya dibicarakan, tak jauh dari keluhan demi keluhan yang kerap disisipi racauan dan buruk sangka. Akhirnya, anugerah yang seharusnya menjadi jalan untuk lahirnya kebaikan-kebaikan, justru menjadi tikungan tajam yang menjerumuskan kita pada jurang kehinaan. Ya, alhamdulillah ketika bangun, alhamdulillah pula ketika jatuh. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.[]

 

 

 

Leave a comment