Tentang Orang Lain

TENTANG ORANG LAIN

Kiki Musthafa

 

MEMBICARAKAN orang lain memang mengasikkan. Apalagi tentang keburukannya. Mengupasnya dengan sudut pandang sendiri. Diumbarkan tanpa tersadari. Hingga semua menjadi tahu. Semua menjadi mengerti. Lalu sehabis itu, dengan ringannya kita beranjak pada pembicaraan yang lain. Masih tentang orang lain. Masih tentang keburukannya. Ya, masih tentang sesuatu yang akan membuatnya tidak suka, jika ia mengetahuinya.

Bagi kita, membicarakan orang lain yang tak terlihat, tersekat tembok tebal, terpisah oleh deretan rumah, jarak yang jauh, bahkan terhalang oleh lautan sekalipun, ternyata jauh lebih mudah. Rasa-rasanya, keburukan orang lain selayak sarapan di pagi hari, jika tidak dibicarakan perut terasa lapar. Seperti minuman dingin di siang menyengat, jika tidak dikabarkan dahaga-kehausan tenggorokan kita. Sore, malam, hingga menjelang tidur, keburukan mereka adalah kebutuhan kita. Agaknya, hidup teramat tawar tanpa menyebarkan keburukan pihak lain.

Terlebih, dengan hadirnya media sosial, seolah memfasilitasi “hasrat membual” kita. Lengkap sudah. Kebutuhan kita untuk membicarakan keburukan orang lain, tak perlu selesai di warung kopi. Tak juga di Pos Kamling yang mulai sepi. Selain menyita waktu dan biaya, rasa-rasanya membual di media sosial jauh lebih efektif. Ditulis beberapa detik. Dibaca banyak pasang mata di saat yang sama. Lapar dan haus kita terkoneksi dengan kepuasan yang terpenuhi—yang tanpa tersadari menjadi muasal munculnya ribuan petaka. Sangat kita banget, kan?

Sementara membincangkan diri sendiri sulitnya tak terperi. Seperti berada dalam ruangan yang gelap, tidak terlihat. Di luar, tetap sulit dihampiri, seakan tersekat tembok tebal. Terpisah oleh deretan rumah dan jarak yang jauh. Bahkan, seolah terhalang oleh terhamparnya lautan. Sangat sulit. Padahal, jika sejenak saja berdiri di depan cermin. Lalu lihat apa yang telah kita perbuat. Telusuri apa yang kita rasakan. Tampari kelicikan kita. Pukuli kebengalan kita. Kuliti kepalsuan kita. Injaki kecurangan kita—dengan tulus “membicarakan” keburukan sendiri untuk diri sendiri. Maka, petaka apa pun akan terhindarkan. Semua kebaikan akan terdekatkan. Segala keburukan kita akan terjaga dengan rapi.

“Barang siapa meninggalkan membicarakan (keburukan) orang lain, maka keburukan dirinya akan terjaga dengan baik,” ungkap Rasulullah Saw dalam salahsatu hadisnya. Sejurus dengan apa yang diungkapkan Rasulullah Saw di atas, membicarakan (keburukan) orang lain (tetap) membahayakan. Islam menamainya dengan ghibah. Suatu ketika, Rasulullah Saw ditanya tentang apa gerangan yang dimaksud dengan ghibah. An tadzkara akhaaka bimaa yukrihuhuu. Fain kaana dzaalikasy-syaiu fiihii faqad ightabtahuu. Wa in lam yakun dzaalikasy-syaiu fiihii faqad buhtahu—yaitu membicarakan sesuatu hal yang tidak disukai saudaramu. Jika benar demikian, maka itu sebenarnya ghibah. Jika tidak, maka berbohong,” jawab Rasulullah Saw pada salahsatu hadis lainnya.

Ancamannya lebih mengerikan. Rasulullah Saw bersabda, “Ghibah lebih berbahaya daripada zina.” Lalu seorang sahabat bertanya, “Kenapa bisa demikian, ya Rasulallah?”. Beliau menjawab, “Seorang yang berzina kemudian bertaubat, maka akan diampuni dosa zinanya. Tetapi, seorang peng-ghibah dosanya tidak terampunkan sampai orang yang di-ghibahi-nya memberikan maaf baginya.” Tentu, saat Rasul memberikan perbandingan lebih dari “seorang yang berzina—yang kenyataanya zina adalah dosa  besar” dengan “seorang peng-ghibah”, seolah memberikan penekanan yang tak sembarang. Bahwa membicarakan keburukan orang itu bahaya. Tidak terampunkan. Menjadi pintu masuk untuk beragam persoalan.

Ya, tapi tentang orang lain, memang selalu mengasikkan. Apalagi tentang keburukannya tersebut. Mengupasnya dengan sudut pandang sendiri. Diumbarkan tanpa tersadari. Hingga semua menjadi tahu. Semua menjadi mengerti. Lalu sehabis itu, dengan ringannya kita beranjak pada pembicaraan yang lain. Masih tentang orang lain. Masih tentang keburukannya. Ya, masih tentang sesuatu yang akan membuatnya tidak suka, jika ia mengetahuinya.

Akhirnya, semoga Allah Swt menjaga lisan kita dari meng-ghibah, dari membicarakan keburukan orang lain. Lalu menganugerahkan kesadaran agar kita telaten untuk lebih “membicarakan” keburukan sendiri—agar menjadi lebih baik lagi.  Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajmai’iin.[]

Leave a comment