Menyerah

MENYERAH

Kiki Musthafa

 

SEORANG kawan datang dengan muka yang kusut. Ia keluhkan semua kegagalan yang tidak berhenti menghampirinya. Pernah, katanya, ia bekerja sebagai security hotel ternama di ibu kota. Bertahan tak kurang dari dua bulan. Dipecat untuk alasan yang sulit difahaminya. Mencoba peruntungan dengan menjadi atlet voli di klub lokal. Supir pribadi. Supir metromini. Sampai berjualan kredit alat-alat dapur. Semua, akunya, tak pernah berjalan baik. Ia menyerah dan pulang kampung dengan rencana baru yang entah.

Hal yang sama, besar kemungkinan, pernah pula kita alami. Keadaan dimana semua upaya dan doa telah tersampai maksimal. Melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Mengusahakan apa saja yang bisa diusahakan. Namun, tidak berujung pada sesuatu yang kita harapkan. Kita berhenti. Merasa benar-benar gagal. Lalu memutuskan untuk menyerah. Tidak melakukan apa-apa. Perlahan-lahan mengutuki nasib yang tidak seberuntung tetangga sebelah. Seakan-akan orang lain selalu tampak berhasil dan kitalah yang paling terpuruk.

Berangkat dari kisahnya, jika benar terpuruk itu bukan dari kegagalan yang teralami. Maka, kemungkinan, terpuruknya kita tersebab dua hal: Tidak ingin (terus) mencoba hal lain. Tidak pula merasa beruntung. Dua keadaan tadi, disadari atau tidak, terlahir karena memutuskan menghentikan langkah. Menyatakan diri untuk menyerah. Ya, menyerah. Merasa sudah tidak mampu berbuat dan kehilangan banyak jalan untuk melangkah. Hidup terasa buntu. Kaki seolah tak menemukan alur baru lagi. Di hadapan kita, yang tampak hanya tembok tebal yang tak mungkin diruntuhkan. Kita berhenti. Menyerah.

Tidak ingin (terus) mencoba hal lain. Biasanya, pertama yang muncul di kepala seorang kawan yang merasa gagal adalah berhenti mencoba. Semua, terasumsikan, sudah tidak mungkin dilanjutkan. Ia alpa, bukankah Allah Swt selalu menyediakan jalan tak terduga bagi yang tidak menyerah berusaha dan berpasrah dalam doa? Karena berhenti itulah, keterpurukan menghinggapinya. Menghinggapi kita pula, kan? Setidaknya, dengan terus berlanjut, kita masih bisa menyalakan harapan. Bukankah harapan itulah yang membuat kita terus berani menyambung dan melanjutkan hari demi hari?

Selanjutnya, tidak pernah merasa beruntung. Selalu yang terlihat adalah orang lain tampak baik-baik saja dan kita merasa tak pernah beruntung. Padahal keadaan terbalik sedang dirasakan yang lain terhadap kita. Jika ada ungkapan, “Hidup hanya soal saling menyangka,” maka benar adanya. Bagi mereka kita cukup beruntung, dirinya yang terpuruk. Bagi kita, betapa beruntungnya mereka, teramat terpuruknya kita. Persoalannya sama, tidak pernah merasa beruntung. Tidak pernah mengerti bahwa setiap yang tertimpakan segagal-seberhasil apa pun, adalah yang terbaik yang telah Allah Swt persiapkan—dan kita sebenarnya, sepahit apa pun itu, sedang dalam keberuntungan karena berada pada rencana terbaik yang diatur-Nya.

Masih berhak merasa terpuruk? Masih layakkah untuk menyerah? Dari dua hal termaksud di atas, mereka yang berhenti mencoba adalah mereka yang berhenti merasa beruntung. Lalu, mereka yang berhenti merasa beruntung adalah mereka yang berhenti bersyukur. Akhirnya, mereka yang berhenti bersyukur adalah mereka yang siap untuk terpuruk. Pastinya, mereka yang terpuruk adalah mereka yang terlebih dahulu memutuskan diri untuk menyerah.

Minggu lalu, seorang kawan datang dengan muka yang kusut. Ia keluhkan semua kegagalan yang tidak berhenti menghampirinya. Pernah, katanya, ia bekerja sebagai security hotel ternama di ibu kota. Bertahan tak kurang dari dua bulan. Dipecat untuk alasan yang sulit difahaminya. Mencoba peruntungan dengan menjadi atlet voli di klub lokal. Supir pribadi. Supir metromini. Sampai berjualan kredit alat-alat dapur. Semua, akunya, tak pernah berjalan baik. Ia menyerah dan pulang kampung dengan rencana baru yang entah.

Kemarin, ia berangkat lagi. Kali ini, mendapat tawaran untuk mengurus masjid dan mengajari anak-anak mengaji, di sebuah komplek perumahan di pinggiran ibu kota. Ini, baginya, bukan tentang bahwa ia pernah mengaji di pesantren dan nyantri bertahun-tahun itu. Sama sekali bukan. Tapi tentang kejutan tak terduga. Kejutan sebagai pengingat, bahwa menyerah bukan sesuatu yang disukai-Nya. Ya, menurut Alquran, selagi tidak berpaling, kejutan dari keadaan tak terduga itu adalah janji-Nya. Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihii wa shabihii ajma’iin.[]

Leave a comment